Jakarta (ANTARA News) - Pesawat berbaling-baling dua itu terguncang ketika menembus kumpulan awan. Di bawah, seperti hamparan permadani, petak-petak persegi panjang tersusun, dibatasi akses jalan dan parit yang tertata rapih. Di beberapa titik terlihat "spot" api.
Pertanyaan yang muncul, apakah pesawat akan mendarat di perkebunan, di landasan berumput seperti bandara perintis di pedalaman Papua?.
Ternyata tidak, pesawat mendarat di landasan tunggal, beraspal rata di bandara khusus yang dikelilingi perkebunan sawit dan akasia di Pangkalan Kerinci, Pelalawan, Provinsi Riau. Bandara itu milik perusahaan Raja Garuda Emas (RGE) yang menanam 50 juta pohon akasia dan ekaliptus per tahun.
Total pohon yang ditanam 300 juta, termasuk di perkebunan mereka di Brazil dan China. Sang pendiri adalah taipan kelahiran Belawan, Medan, Sukanto Tanoto.
Di sebuah resto hotel, seorang anak muda duduk santai di meja bundar di mana ekspatriat yang juga eksekutif senior perusahaan juga duduk semeja. Kemeja batik pemuda itu sederhana, berwarna dasar biru.
Potongan rambutnya tegak, model terakhir. Wajahnya terkesan selalu senyum, ditambah tembong di sudut bawah bibirnya.
Anak muda ini, Anderson (24). Bungsu dari Sukanto Tanoto, orang yang pernah dinobatkan jadi orang terkaya kelima di Indonesia atau ke-503 di dunia dengan kekayaan 2,8 miliar dolar AS.
Bisnisnya, hutan tanaman industri pulp dan kertas melalui April, kebun dan pengolahan kelapa sawit Asian Agri, serta bisnis gas dan minyak bumi melalui Pacific Gas & Oil di sejumlah negara di antaranya Indonesia, China, Brazil dengan pasar di seluruh dunia.
Anderson masih belia untuk pengusaha, yakni 24 tahun. Alumnus Wharton School, University of Pennsylvania, Amerika Serikat.
Namun pengetahuannya tentang bisnis orang tuanya cukup mendalam. Dia paham kebutuhan kertas dunia. Dia menyimak menurunnya kebutuhan kertas di Eropa, stabilnya di AS dan masih meningkatnya kebutuhan di Asia, termasuk Indonesia.
Dia memprediksi kebutuhan kertas dunia dalam jangka panjang akan menurun seiring kemajuan teknologi dimana surat menyurat dan dokumen tidak harus dipaparkan dalam lembaran kertas.
Dia memberi contoh yang sederhana, jika ayahnya yang berusia 64 tahun menggunakan "gadget" dalam bekerja, bagaimana dengan generasi kini dan mendatang.
Meski Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) memiliki konsesi lahan hutan tanaman industri (HTI) sangat luas di Pelalawan dan membangun Kota Pangkalan Kerinci yang semula dusun berpenduduk 200 kepala keluarga, kini menjadi 68.000, tetapi dalam berbisnis, kata Anderson, setiap pengusaha harus realistis.
Dia juga lancar membahas perkembangan gas dan minyak dunia dan terbuka saat ditanya tentang kasus pajak yang menimpa Asian Agri. "Apakah keterangan seorang pesakitan (terpidana) layak dijadikan acuan bagi suatu penyidikan?" katanya.
Dia melihat kasus pajak yang menyeret Asian Agri syarat dengan kepentingan politis.
Faisal Basri melihatnya dalam perspektif berbeda. Dia menilai, sebagian besar perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak membayar pajak dengan benar.
"Tidak hanya Asian Agri, dia (Asian Agri, red) lebih baik, karena masih banyak perusahaan kelapa sawit yang tidak membayar pajak dengan benar," kata Faisal, ekonom UI.
Dia menunjuk, hampir semua perusahaan perkebunan kelapa sawit membuka kantor cabang di Singapura.
"Mereka meminimalkan pendapatan di Indonesia agar terhindar dari biaya pajak yang dinilai memberatkan dan melaporkan keuntungan yang sebenarnya di Singapura dengan beban pajak lebih ringan," katanya.
Anderson menilai beban pajak yang harus ditanggung Asian Agri tidak mungkin lebih besar dibanding perusahaan kelapa sawit Astra, misalnya karena perusahaannya tidak lebih besar dibanding perusahaan multinasional itu.
Transparan
Terlepas dari itu, Anderson mengusung pengubahan pola informasinya ke publik dengan menerapkan transparansi agar masyarakat mengetahui bagaimana mereka mengelola RGE, RAPP, Asian Agri, Sateri Holdings Limited dan Pacific Oil & Gas.
Dia memosisikan bisnis kertas dan bubur kayu, minyak, gas serta kelapa sawit adalah bisnis jangka panjang yang membutuhkan kepastian dan dukungan banyak pihak agar keberadaannya terjaga dalam jangka waktu yang lama.
Untuk itu dia membutuhkan kepercayaan dari masyarakat bahwa perusahaan dikelola secara benar dan tidak merugikan pihak manapun, baik negara maupun masyarakat.
Sikap terbuka (transparan) merupakan keinginan generasi kedua keluarga Tanoto dan didukung oleh orang tua mereka, Sukanto.
Dia mempersilakan pihak-pihak yang ingin mengetahui aktivitas perusahaan untuk datang melihat secara langsung apa yang dilakukan perusahaannya. "Kami di sini tidak menempatkan diri sebagai tamu, tetapi bagian dari masyarakat," kata Anderson.
Pertanyaan besarnya kini, apakah Anderson akan mewarisi kerajaan bisnis ayahnya? Akankah dia menyisihkan abang tertua dan dua kakak perempuannya?
Dia berulang kali menolak untuk mengatakan, ya. Dia menilai terlalu dini untuk menjawab pertanyaan itu. Dia menyatakan masih harus banyak belajar. Pengalamannya bekerja di sebuah perusahaan konsultan Bain & Company SE Asia Inc di Singapura dinilainya belum mencukupi.
Anak muda yang suka mengenakan baju kasual itu menyatakan masih harus banyak belajar di lapangan. Banyak hal yang tidak ditemuinya di universitas saat terjun ke lapangan. Baginya diperlukan pendekatan dan perlakuan khusus ketika menghadapi kelompok kerja yang berbeda.
Usia 24, sesungguhnya sudah cukup matang, jika hal itu dibandingkan dengan Sukanto Tanoto muda yang memulai berbisnis pada usia 17 tahun di Medan.
Seandainya Anderson dipersiapkan sebagai penerus kerajaan bisnis itu, dan itu sangat mungkin karena saingannya hanyalah tiga saudara yang punya minat berbeda, maka tugasnya tidak akan mudah.
Dalam waktu dekat ini dia harus menuntaskan masalah pembayaran pajak yang membelit 14 perusahaan dalam kelompok Asian Agri pada kurun waktu 2002-2005 senilai Rp2,5 triliun paling lambat 12 bulan sejak keputusan MA diterbitkan.
Tidak hanya itu hanya itu, kelompok perusahaan itu masih terus menghadapi tudingan penurunan jumlah kawasan hutan (deforestry) dari aktivis lingkungan hidup.
Untuk hal ini, tudingan tersebut harus dipikul bersama dengan perusahaan perkebunan sawit dan pengelola hutan tanaman industri lainnya di seluruh Indonesia.
Tudingan lain, adalah pembakaran lahan yang menyebabkan asapnya menggangu negara tentangga.
Untuk yang ini, Anderson menyatakan perusahaannya sudah lama tidak menggunakan sistem pembakaran untuk membersihkan lahan. Pembakaran justru merusak struktur tanah yang tak elok untuk akasia dan ekaliptus.
Tak hanya masalah asap, jika semua mereka membayar pajak dengan benar maka Indonesia akan lebih kaya dan makmur dan akan banyak infrastrukur bisa dibangun dan rakyat kecil bisa menikmati pembangunan dalam berkeadilan.
Oleh Erafzon SAS
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013