Tapi tahun ini lebih sepi."
Jakarta (ANTARA News) - Gema takbir bergaung di masjid At-Tin, Jakarta Timur. Di dalam masjid, ada puluhan orang sedang melakukan aktivitas beragam. Ada yang shalat dan berdoa, ada yang tidur-tiduran, juga yang sibuk mengabadikan momen dengan kameranya.


Dibanding kapasitasnya yang mencapai 9000 orang, masjid yang mulai dibuka untuk umum sejak tahun 1999 itu terlihat lengang.


Anak-anak kecil berlarian di karpet tempat shalat yang luas, sementara di sisi lain petugas At-Tin sedang menyedot debu karpet untuk menyambut ribuan jamaah yang akan melaksanakan shalat Ied esok.


Dwi Ira (19) dan lima temannya adalah beberapa pengunjung At-Tin yang datang untuk melewatkan malam takbiran sambil berwisata. Mereka asyik berfoto-foto di koridor di sekeliling masjid At-Tin yang dipenuhi lampu-lampu cantik.


"Sekalian saja, tadi habis buka bersama lalu dilanjut dengan takbiran sambil foto-foto," ucapnya sambil tersenyum.


Pasangan suami istri Jayadi (30) dan Mela (27) pun sengaja datang ke masjid At-Tin, selain untuk takbiran, juga untuk melepas penat.


Mereka datang bersama putrinya yang berumur empat tahun dari kawasan Cijantung. Tujuannya? Takbiran sekaligus berwisata.


"Untuk refreshing aja, suasananya enak," kata Jayadi.


Cuaca yang sejuk sehabis hujan ditambah angin sepoi-sepoi dan rimbunnya pepohonan sekitar At-Tin menjadi salah satu alternatif untuk mencari udara segar di tengah penatnya Jakarta. Hiburan murah meriah bagi warga pinggiran ibukota.


Tahun lalu, mereka juga melewatkan malam takbir di tempat yang sama.


"Tapi tahun ini lebih sepi," komentar Mela.


Dibandingkan suasana di dalam masjid, keramaian justru terlihat di pinggir jalan raya sekitar At-Tin. Belasan pedagang kaki lima, mulai dari makanan seperti bakso, nasi goreng, pedagang minuman, hingga orang yang berjualan peci "parkir" di sana. Banyaknya pedagang kaki lima di depan masjid At-Tin membuat lalu lintas dari arah Tamini Square menuju Kampung Rambutan padat merayap namun kembali lancar setelah melewati pintu satu TMII.


Keramaian yang sesungguhnya ada di area sekitar Pintu 1 Taman Mini Indonesia Indah yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari masjid At-Tin.


Ratusan motor diparkir memenuhi pinggiran jalan, bersaing dengan puluhan gerobak dagangan, mulai dari makanan, minuman, hingga mainan anak. Di trotoar, ratusan orang lesehan di atas tikar. Bersantai, bercengkrama, sambil menghirup rokok atau mengunyah nasi goreng. Mobil-mobil dan motor yang baru masuk pun merayap, mencari tempat kosong untuk parkir.


Ika Mulyani (14) dan delapan temannya memanfaatkan keramaian itu untuk mencari uang dengan mengamen. Anak-anak usia belasan yang datang dari Kampung Dukuh itu bukan hanya kali ini saja mengamen, melainkan setiap malam. Bocah kelas 3 SMP itu mengatakan malam takbiran sama ramai, atau bahkan lebih ramai dari suasana di malam minggu.


"Kalau biasa kita baru keluar jam 9 malam, sekarang dari jam 7," ungkapnya, menambahkan bahwa mereka mengamen sampai pagi menjelang.


Sujiyo (60) pun mencoba peruntungan dengan menjual mainan anak. Ini adalah kali pertamanya berjualan di malam takbir, biasanya dia mangkal di dalam TMII.


"Semoga malam ini laku banyak, saya baru coba-coba jualan pas takbiran," kata warga Lubang Buaya itu.


Semakin malam, kawasan pintu gerbang utama TMII itu makin padat oleh manusia dan kendaraan. Itulah mengapa Agus Sudrajat (38) sengaja datang lebih cepat agar anaknya tidak lelah karena berdesak-desakan dengan banyak orang.


"Sebentar lagi saya pulang soalnya bawa anak, ini kan baru jam sepuluh malam jadi belum terlalu ramai. Waktu masih bujang sih saya sampai tengah malam," ujarnya sembari tertawa.


"Saya tiap tahun kesini, lebih dari sepuluh tahun rutin ke sini. Sengaja mampir karena saya dari Menteng mau ke Depok," katanya.


Dia mengaku tidak bosan melewatkan malam takbiran di tempat yang sama selama bertahun-tahun. Keramaian di kawasan TMII baginya lebih menarik ketimbang berdiam diri di rumah.


"Saya sih memang mencari suasana gebyar," imbuhnya. (*)

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013