"Tujuan utama dari rencana itu adalah merebut dua kota, Al-Mukalla dan Ghayl Bawazeer" di wilayah tenggara, kata Rajeh Badi kepada AFP, dengan menambahkan bahwa fasilitas ekspor minyak di dekat Mukalla juga menjadi sasaran serangan.
Orang-orang asing yang bekerja di terminal minyak itu juga akan diculik, katanya.
Ia menambahkan, terminal minyak Mina al-Dhaba sebelah barat Mukalla dan sebuah fasilitas ekspor berdekatan untuk produk hasil minyak akan menjadi sasaran militan yang menyamar dengan seragam tentara.
"Mereka akan berpura-pura demonstrasi menuntut bonus... dan kemudian menyerbu terminal itu," katanya.
"Jika mereka gagal menguasai fasilitas tersebut, rencana selanjutnya adalah menculik warga asing sebagai sandera," tambah pejabat itu.
Serangan itu direncanakan berlangsung pada hari ke-27 Ramadhan, yang jatuh pada Senin tanggal 5 Agustus.
Rencana itu digagalkan dua hari sebelum pelaksanaannya, kata Badi.
Rencana lain yang digagalkan adalah penyerangan terhadap sebuah saluran pipa gas utama di provinsi wilayah tenggara, Shabwa, yang akan memutus ekspor bahan bakar gas dari terminal Balhaf sebelah baratdaya Mukalla, tambah Badi.
Pengungkapan Yaman itu merupakan indikasi pertama mengenai ancaman Al Qaida yang membuat misi-misi diplomatik AS ditutup di kawasan itu mulai Minggu.
Militan Al Qaida memperkuat keberadaan mereka di wilayah selatan, dengan memanfaatkan melemahnya pemerintah pusat akibat pemberontakan anti-pemerintah yang meletus pada Januari 2011.
Ofensif pasukan Yaman yang diluncurkan pada Mei 2011 berhasil menghalau militan Al Qaida dari sejumlah kota dan desa di wilayah selatan dan timur yang selama lebih dari setahun mereka kuasai.
Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al Qaida Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.
Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.
Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al Qaida di Semenanjung Arab (AQAP).
AS ingin presiden baru Yaman, yang berkuasa setelah protes terhadap pendahulunya membuat militer negara itu terpecah menjadi kelompok-kelompok yang bertikai, menyatukan angkatan bersenjata dan menggunakan mereka untuk memerangi kelompok militan itu.
Militan melancarkan gelombang serangan sejak mantan Presiden Ali Abdullah Saleh pada Februari 2012 menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, Abdrabuh Mansur Hadi, yang telah berjanji menumpas Al Qaida.
Penerjemah: Memet Suratmadi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013