Jakarta (ANTARA) - "Inklusivitas masyarakat itu, bukan dan tidak boleh diartikan sebagai bentuk sekularisme masyarakat. Itu hal yang lain lho. Berbeda," tegas Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Dr KH Nasaruddin Umar kepada ANTARA, kala menunggu kumandang azan Magrib di Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (29/12/2023).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), inklusif memiliki arti "termasuk atau terhitung". Sebagaimana diketahui, inklusif juga merupakan lawan kata dari eksklusif yang berarti "terpisah dari yang lain" atau khusus.

Hanya saja, penggunaan kalimat "masyarakat yang inklusif" kerap diasosiasikan oleh segelintir golongan sebagai "masyarakat yang sekuler". Padahal, sekuler memiliki arti "bersifat duniawi atau kebendaan (bukan bersifat keagamaan dan kerohanian)".

Menurut Nasaruddin, hal tersebut merupakan pemahaman yang keliru. Padahal, inklusivitas dalam bermasyarakat merupakan hal yang penting untuk diterapkan di Indonesia sebagai bangsa majemuk, yang terdiri atas berbagai suku bangsa, agama, dan bahasa.

Inklusivitas, kata dia, bukan berarti deislamisasi, dekristenisasi, dan lain sebagainya. Membangun masyarakat yang inklusif, bukan berarti harus mencabut akar fanatisme keagamaan setiap orang agar menjadi longgar dan permisif.

Pendekatan masyarakat yang inklusif memiliki ciri-ciri khusus, yakni menekankan aspek perjumpaan, pertemuan, dan tidak menjadikan perbedaan sebagai sebuah permasalahan.

Sementara pendekatan masyarakat yang eksklusif memiliki prinsip selalu menghadapkan dan mempertentangkan segala hal, overkritis, berharapan buruk, serta cenderung kabur dalam melihat suatu persoalan tertentu.

Berdasarkan paparannya tersebut, Nasaruddin menilai pemahaman yang sekular justru melahirkan eksklusivitas dalam bermasyarakat, dimana tindak kejahatan terorisme bermunculan karena masyarakat yang overliberal.

Sekularisme itu bertentangan dengan Pancasila, tapi inklusivisme masyarakat itulah yang pancasilais.


Agama berperan besar

Mantan Wakil Menteri Agama (Wamenag) periode 2011-2014 itu menyebut agama memiliki peran yang besar bagi bangsa. Ia menilai religiositas yang dimiliki masyarakat efektif dalam membangkitkan spirit perjuangan nasionalisme Bangsa Indonesia.

Untuk itu, demi menciptakan masyarakat yang inklusif, Indonesia sebagai negara yang memiliki Pancasila sebagai dasar negara tidak boleh mengesampingkan urusan keagamaan dalam setiap kebijakannya, apalagi, jika kontraproduktif terhadap ajaran agama mana pun.

Warga bersalaman saat mengikuti acara silaturahim lintas agama dengan umat kristiani dalam perayaan Hari Raya Natal di Dusun Tekelan, Desa Batur, Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (25/12/2023). Tradisi silaturahim warga lintas agama dengan mengunjungi tempat ibadah agama yang sedang merayakan hari besar keagamaan itu disertai dengan bersalaman saling memaafkan untuk memupuk kerukunan antarumat beragama dalam bingkai keberagaman Negara Kesatuan Republik Indonesia. (ANTARA FOTO/Aji Styawan/nym.)

Lebih lanjut, keterlibatan para pemuka agama dalam berbagai urusan yang menyangkut soal kenegaraan perlu ditingkatkan. Kecenderungan asumsi pemuka agama sebagai "pemadam kebakaran" harus dihilangkan dengan melibatkannya dari hulu ke hilir, karena negara dan agama tidak dapat dipisahkan.

"Saya melihat potensi agama bisa memperkuat negara, dan potensi negara bisa memperkuat agama. Kalau negara dan agama kuat, konklusinya bangsa menjadi kuat. Jika negara lemah, maka kontribusi agama juga melemah, kalau dua-duanya lemah, kita bisa dicaplok oleh bangsa lain yang lebih kuat," ucapnya.


Menuju transformasi

Kasus intoleransi saat ini masih menjadi masalah yang kerap melanda Tanah Air. Berdasarkan data yang dihimpun Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), tercatat sebanyak 65 kasus intoleransi terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 2019-2023, di mana 30 kasus di antaranya terjadi pada Tahun 2023 ini.

Di samping itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI juga menemukan 2.670 konten digital bermuatan radikalisme dan terorisme sepanjang Tahun 2023.

Meski demikian, Indonesia memiliki secercah harapan untuk mewujudkan masyarakat yang inklusif di masa mendatang. Berdasarkan survei litbang sebuah media, sebanyak 72,6 persen responden meyakini bahwa toleransi di Indonesia masih terjaga. Bahkan nilainya meningkat menjadi 74 persen bagi masyarakat usia di bawah 40 tahun.

Dalam Agama Islam, perilaku eksklusif dalam bermasyarakat merupakan dorongan atas perasaan putus asa terhadap rahmat-Nya yang menghendaki perbedaan, di mana Allah SWT melarang umatnya untuk berputus asa terhadap rahmat-Nya.

Untuk itu, dalam menghadapi Tahun 2024, Imam Besar Masjid Istiqlal mengajak seluruh masyarakat untuk memiliki pandangan yang jernih dan jujur terhadap apapun permasalahan yang dihadapi. Karena jika pandangan di hulu tidak jernih dan objektif, dapat mempengaruhi pandangan seseorang hingga ke hilir.

Masyarakat Indonesia, harus bersatu layaknya dalam pertandingan sepak bola. Seluruhnya bersorak sorai saat menang, dan saling merangkul saat kalah, tanpa menghiraukan latar belakang, suku, agama, ras, dan golongan dari masing-masing anggota tim.

Terlebih lagi, di 2024 Indonesia akan merayakan pesta demokrasi yang menentukan nakhoda bangsa ini selama lima tahun ke depan, untuk dapat membawa Indonesia menjadi negara yang semakin inklusif.

Untuk itu, demokrasi harus diwujudkan dengan adil, yang diiringi dengan pemimpin serta masyarakat yang adil, baik terhadap komunitas, keluarga, hingga diri sendiri agar tidak ada lagi diskriminasi antarsesama, karena keadilan merupakan jawaban terhadap seluruh persoalan yang dihadapi.

Kalau semua berjumpa di titik pertemuan itu, maka insyaallah akan terwujud baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur (sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya).

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023