"Tentu hal ini harus diketahui, apa perbedaan konsepsi antara pencari suaka (asylum seekers) dan pengungsi (Refugees). Jika berkaitan dengan pencari suaka, maka negara memiliki otoritas penuh dalam menerima atau menolak orang yang tidak memiliki alasan mengapa mereka berhijrah dari negara asal ke negara tujuan," ujar Satria di Surabaya, Jumat.
Satria menjelaskan pengungsi (Refugees) adalah orang atau kelompok yang mengalami persekusi di negara asalnya atas nama ras, suku, etnis, dan budaya sehingga tidak ada pilihan lain selain keluar dari negara asalnya.
Hal tersebut diatur dalam Konvensi Jenewa 1951 tentang status pengungsi dan protokol tambahan 1967.
Pada Pasal 33 Konvensi Jenewa 1951 ada prinsip non-refoulement, di mana semua negara baik yang telah meratifikasi di Konvensi Jenewa 1951 ataupun tidak, dapat menerima mereka yang masuk kategori sebagai refugee, termasuk dalam kasus Rohingya seharusnya mereka dapat diterima dan tanpa dipersekusi di Indonesia.
"Bagi mereka yang screen in, mereka dilindungi dan dipenuhi hak-haknya oleh UNHCR, lembaga internasional di bawah PBB yang menangani kasus pengungsi," tambah Satria.
Selanjutnya, Satria menegaskan perlu ada upaya diplomatik Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Myanmar untuk memulangkan kembali mereka ke tempat asal apabila stabilitas politik telah pulih dan hak-hak mereka dijamin untuk tidak dilanggar.
“Sehingga peran serta pemerintah dan negara Indonesia menjadi sangat penting, termasuk mendorong ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan menaikkan peran dan komitmen tingginya untuk menyelesaikan polemik kasus Rohingya tersebut," kata Satria.
Pewarta: Willi Irawan
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2023