Jakarta (ANTARA) - Era industri telah melahirkan manusia-manusia kompetitif bermental petarung yang terobsesi menjadi juara, dengan memenangi segala tantangan dan persaingan. Untuk menjadi yang terbaik, orang-orang mengejar kesempurnaan hingga bersikap terlalu keras pada diri sendiri. Bila menyadari bahwa semua yang kita kejar hanya bersifat fana, maka untuk apa memperlakukan diri sebegitu kejamnya.

Seorang profesor psikologi di Universitas Texas Dr. Kristin Neff menyatakan The Power of Self Compassion adalah menyayangi diri kita sendiri merupakan sesuatu hal yang penting.

Hidup di masa yang serba kompetitif membuat orang cenderung memaksakan diri dalam melakukan dan menggapai banyak hal, hingga kehilangan sikap sayang pada diri sendiri. Bekerja terlalu keras tak mengenal waktu, berjibaku menaklukkan batasan dari tenggat waktu ke tenggat waktu, menentukan target demi target, dan lalu berlarian menggapai target itu. Seolah semua tak bisa ditawar dan wajib dicapai seluruhnya.

Tuhan menciptakan waktu, ada siang dan malam. Siang adalah waktu untuk manusia bekerja dan beraktivitas, sedangkan malam ketika matahari telah pergi ke peraduan, merupakan waktu mengambil jeda guna mengistirahatkan tubuh. Tetapi para perfeksionis pengejar target, tak segan melawan hukum alam dengan terus giat bekerja hingga lewat tengah malam. Ia tak memberi hak istirahat kepada badan, kecuali hanya sedikit.

Penganiayaan terhadap tubuh yang berlangsung bertahun-tahun mengakibatkan seseorang memanen penyakit ketika memasuki masa tua, bahkan bisa lebih cepat dari itu. Bila anda sekarang sudah mulai mencicipi sejumlah penyakit, coba tengok ke belakang, bagaimana selama ini memperlakukan tubuh. Jangan tunggu “ditegur” oleh badan sendiri baru sadar akan pentingnya berperilaku hidup seimbang dan sehat.

Bekerja dan berkarya itu seperti lari maraton, menempuh jarak yang panjang. Bukan lari jarak pendek yang hanya ratusan meter. Pelari jarak pendek bisa langsung menggeber kecepatan untuk sampai pada garis finish dalam waktu singkat, sedangkan pelari maraton harus mengatur stamina agar mampu terus berlari pada lintasan yang jauh.

Begitu pun dalam menjalani kehidupan, seseorang tidak bisa berlaku seperti pelari jarak pendek karena lintasan kehidupan yang bakal dilalui amatlah panjang. Karenanya, perlu memiliki strategi agar tidak tumbang di tengah jalan dan tak kehabisan nafas sebelum garis akhir.

Memiliki target dan menetapkan tenggat waktu memang perlu agar melakukan pekerjaan lebih terarah dan bertujuan. Namun hindari membuat target yang melampaui batas kemampuan dan ketentuan tenggat waktu yang kurang realistis hingga memaksakan diri dalam menyelesaikannya.

Buatlah pekerjaan menjadi nikmat untuk dijalankan, dan kita mempunyai kontrol serta kendali terhadapnya. Kita manusia punya kuasa untuk mengatur apa yang perlu atau tidak perlu dikerjakan, penting dikerjakan saat ini atau bisa nanti, harus diselesaikan sekarang atau sebenarnya masih bisa menunggu besok. Target dan tenggat waktu jangan sampai menjadi momok yang membuat kita tunggang langgang untuk mencapainya. Dan tak terasa manusia telah diperbudak oleh pekerjaan yang sesungguhnya dapat dikendalikan.

Serba harus

Bekerja dan berkarya bertujuan untuk membuat kita merasa berharga, bangga, dan kemudian bahagia. Untuk menjadi bahagia, maka proses yang dilalui juga harus menyenangkan. Bila pekerjaan terasa menyiksa dan anda melakukannya dengan terpaksa, tentu ada yang perlu dievaluasi.

Orang perfeksionis yang mengejar kesempurnaan dalam bekerja cenderung bersikap terlalu keras pada diri sendiri. Selanjutnya, kenali tanda-tandanya:

- Target. Bekerja sepanjang waktu tak kenal lelah dan tak mengenal kata puas. Ia berkutat dalam pusaran target, dari target yang hampir diselesaikan menuju target baru yang hendak diburu, begitu seterusnya dan tak ada habisnya. Dunia seperti ingin digulung dalam genggamannya. Obsesi dia terus bertumbuh tanpa henti.

- Tenggat waktu. Menetapkan tenggat waktu secara kejam yang membuat diri sendiri kalang kabut untuk memenuhi. Bila tenggat waktu itu atasan yang menentukan, ia menurut saja meski terasa tidak manusiawi. Dia merasa tak enak hati untuk menawar tenggat waktu yang lebih realistis karena khawatir dianggap tidak profesional.

- Harus. Kata "harus" menjadi kata kunci yang diterapkan dalam banyak hal walau tidak semuanya memiliki urgensi untuk diharuskan. Dalam kadar normal, kata “harus” dapat menjadi pelecut untuk mendisiplinkan diri, namun “harus” yang diterapkan ke hampir semua hal bisa menjurus pada sikap memperbudak diri sendiri.

- Merutuk diri. Sedikit saja kesalahan terjadi atau ada kekurangsempurnaan dalam melakukan tugas, orang yang terlalu keras pada diri sendiri mudah merutuk. Sulit menerima dan memaklumi kekurangan diri. Apalagi ketika mendapat evaluasi atas kesalahan kerja, sontak akan membuatnya sangat terpuruk.

- Tidur terganggu. Otak selalu “on”, di kantor bekerja penuh, dalam perjalanan pulang sambil memeriksa pekerjaan, sampai di rumah masih juga membawa serta pekerjaan kantor. Hingga waktu tidur tiba otak tetap bekerja dan sulit untuk dihentikan. Berangkat tidur dalam kecemasan karena ada sisa tugas yang belum terselesaikan. Dipaksakan tidur, tetapi otak tak dapat di-switch off, akibatnya tentang pekerjaan pun terbawa mimpi dan tak dapat menikmati tidur secara berkualitas.

- Pura-pura tidak apa-apa. Begitu kerasnya pada diri sendiri hingga orang ini tak mengizinkan dirinya jatuh sakit, merasa lelah, atau mengalami kebosanan. Meski semua itu adalah hal yang wajar, ia menampik kondisi buruk tersebut terjadi pada dirinya. Agar tidak tampak lemah, dalam kondisi tidak baik-baik saja pun ia akan selalu berpura-pura tidak apa-apa.

Belas kasih

Bukan hanya kepada sesama, satwa, dan tumbuhan, kita juga harus memiliki sifat belas kasih, termasuk pada diri sendiri. Karena hanya anda yang paling mengenali dan memahami diri sendiri. Jika kehidupan dan atasan telah berlaku kejam, tak semestinya anda turut bersikap keras pada diri sendiri.

Memiliki kekurangan dan sesekali tanpa sengaja melakukan kesalahan adalah manusiawi. Bila kita mampu memaklumi dan memaafkan kesalahan orang lain, sebaiknya kita juga bisa memaafkan kesalahan diri sendiri.

Psikolog sosial Alice Boyes berpandangan bahwa kesalahan itu terkadang bikin sehat karena memotivasi diri untuk memperbaiki kesalahan.

Jangan mudah runtuh akibat perundungan oleh sebab kesalahan yang anda lakukan. Lingkungan kerja yang sehat, atasan yang bijak, dan rekan kerja yang tulus tentu tidak akan berbuat demikian.

Manakala memperoleh perlakuan buruk dari orang lain, jangan terlalu cepat menyalahkan diri sendiri. Boleh saja sebagai bahan introspeksi diri, tetapi perlakuan buruk itu belum tentu karena kesalahan anda, bisa jadi dia yang tak pandai menghargai orang lain. Sikap gampang menyalahkan diri yang berlebihan dapat menggerus kepercayaan diri.

Selanjutnya teruslah mengenali diri sendiri secara lebih mendalam dengan mengetahui segala kekurangan dan kelemahan. Bukan lantas minder, melainkan untuk belajar menerima diri dan meminimalkan efeknya. Kemudian temukan banyak kekuatan dan keunggulan, tidak untuk menyombong, tetapi sebagai bekal memperbaiki kepercayaan diri. Anda yang paling tahu keistimewaan dalam diri, dari situ pupuk terus untuk berkembangnya kreativitas dan kompetensi yang cemerlang.

Sesungguhnya tidak ada SDM bodoh, semua orang memiliki keunikan masing-masing yang berbeda satu sama lain. Apakah keunikan itu dapat berkembang menjadi keunggulan, amat tergantung bagaimana perusahaan, instansi, dan lembaga memperlakukannya. Seperti ungkapan,”Tidak ada murid yang bodoh, yang ada guru gagal menggali potensi terbaiknya”.

Boleh juga mulai belajar menolak. Jika posisi sebagai bawahan bukan berarti harus selalu tunduk terhadap apapun yang ditugaskan atasan. Untuk tugas-tugas yang berlebihan, di luar tanggung jawab kerja, atau melampaui batas yang membuat hampir seluruh waktu kita terenggut oleh pekerjaan, maka harus berani menolak. Dengan mengatakan "tidak" merupakan cara untuk memberi batas kepada mereka supaya mereka tahu bahwa kita tidak suka dipaksa dan ingin dihargai hak-haknya. Karena kita bekerja di era industri dan bukan zaman perbudakan.

Miliki harga diri dengan menghindari sikap menghamba, kecuali pada Yang Maha Kuasa. Karena hanya Dia yang menjamin seluruh kehidupan kita. Maka sayangi diri, tidak perlu berlaku keras pada diri sendiri hanya demi mempertahankan posisi atau memperoleh promosi, sesuatu yang bersifat fana belaka.

Hal lain yang perlu dilakukan agar tidak bersikap keras pada diri sendiri adalah dengan bersyukur. Bersyukurlah atas banyak alasan yang Tuhan anugerahkan kepada kita, tanpa menunggu contoh orang lain yang lebih susah daripada kita, baru bisa merasa beruntung.

Bila sampai hari ini belum mencapai kegemilangan dalam karier, tetap yakini bahwa Anda hebat, hanya saja belum ditemukan oleh orang yang tepat.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023