Jakarta (ANTARA) - Di tengah kita mencari sosok pemimpin di tahun politik ini, barangkali menarik kita mengulik kembali pesan kepemimpinan yang telah diwariskan para leluhur, salah satunya adalah filosofi kepemimpinan berkarakter Hastabrata.
Hastabrata berasal dari Bahasa Sansekerta. Hasta berarti delapan dan Brata bermakna perilaku atau tindakan pengendalian diri. Hastabrata, karena itu, melambangkan kepemimpinan dalam delapan unsur alam: bumi, matahari, api, samudera, langit, angin, bulan, dan bintang. Unsur Hastabrata memiliki pesan di tiap karakteristik sebagai seorang pemimpin ideal.
Pemimpin berjiwa Hastabrata hendaknya memiliki transformasi sifat-sifat dewa (Ila) ke delapan unsur alam sendiri. Hal ini sebagaimana terinspirasikan dalam naskah Pustakaraja Purwa.
Pertama, seorang pemimpin itu hendaklah memiliki jiwa bumi. Bumi adalah tempat kehidupan. Bumilah yang menyediakan kebutuhan dasar makhluk hidup, termasuk manusia yang mulia. Karena itu, filosofi pemimpin berjiwa bumi adalah mereka yang menjadi tempat kokoh dan senantiasa memberi pada semua makhluk, khususnya bagi anak buah dan yang dipimpinnya.
Dengan kata lain, pemimpin itu adalah mereka yang sudah ponorogo, yang sudah pono (selesai, purna) dengan rogo (tubuh, raga, dan lahiriahnya). Betapa berat seorang pemimpin berjiwa bumi.
Sebab, sebagaimana bumi, seorang pemimpin harus mampu memberi dan kokoh, berkorban bagi kehidupan. Diinjak-injak siapa pun dan apa pun. Memberi tanpa pamrih pada masyarakat, berjiwa pengayom dan tentu wajib menjadi tempat pertama yang bisa diandalkan. Manusia pertama yang membuka dadanya bagi orang lain, sebaliknya bukan mereka yang berpikir dengan perutnya sendiri.
Kedua, seorang pemimpin dalam filosofi Hastabrata wajib berjiwa matahari. Dengan cahaya yang dipancarkan kepada seluruh makhluk di bumi, matahari mampu melahirkan kehidupan dalam beragam aktivitas. Memberikan energi, memungkinkan makhluk hidup tumbuh dan berkembang. Karena itu, seorang pemimpin dalam konteks jiwa matahari adalah mereka yang mampu menghidupkan orang lain, bukan mematikannya. Mengapresiasi dan memberikan koreksi.
Dengan bahasa lain, seorang pemimpin itu adalah mereka yang mampu memberikan energi dengan visi, tujuan, dalam tindakan dan keputusannya. Seorang pemimpin karena itu seperti matahari: memberi secara terus-menerus, hingga tidak menyadari bahwa dia telah berbuat banyak bagi yang lain. Kehadirannya hanya bagi orang lain, bukan sebaliknya minta dilayani dan "disembah" orang lain.
Ketiga, seorang pemimpin dalam filosofi Hastabrata wajib berjiwa api. Filosofi api itu memiliki hukum "membakar apa saja yang menyentuhnya". Api, meskipun bersifat merusak, keberadaannya merupakan unsur alam paling adil di antara yang lain.
Salah satu sifat api itu bersifat spontan, namun stabil, mencerminkan keberanian dan keyakinan kuat. Berani dan yakin "menghancurkan" ragam masalah yang mungkin timbul di kemudian hari.
Seorang pemimpin berjiwa api adalah mereka yang ketika menghadapi masalah berani tegas dalam pengelolaannya, punya keberanian dalam mengambil keputusan yang dibutuhkan bagi anak buah dan masyarakat di sekitarnya. Bukan sebaliknya, hasrat menghancurkan orang lain dan berideologi kemakmuran bagi diri dan koleganya.
Keempat, pemimpin dalam filosofi Hastabrata harus memiliki jiwa samudera. Seorang pemimpin harus mampu menjadi hilir bagi semua sungai. Ingatlah bahwa tidak semua sungai membawa air bersih, tetapi samudera ikhlas menerima air dari sungai manapun, baik penuh dengan kotoran atau bersih. Sifat penerimaan dan keikhlasan yang dalamnya tak terperikan.
Begitulah mestinya seorang pemimpin, serupa samudera. Pemimpin itu sosok yang mata hatinya terbuka, pikirannya dalam dan luas. Pemimpin berjiwa samudera itu menerima pendapat orang sekitar sebagai bentuk respons seorang pemimpin kepada orang lain. Bukan angkuh berkepala batu dan merasa tahu, tetapi sejatinya tidak banyak tahu tentang hal yang dipimpinnya.
Jiwa samudera itu adalah jiwa seorang yang mampu mengolah semua kotoran air sungai dengan kedalaman sifat airnya. Begitulah jiwa seorang pemimpin.
Dengan kata lain, seorang pemimpin itu tidak menelan mentah-mentah masukan (bisikan) yang ada. Pemimpin berjiwa samudera adalah dia yang senantiasa memikirkan baik-baik semua pendapat, bahkan mau dan mampu belajar pengetahuan baru dari sekitarnya. Jiwa samudera seorang pemimpin adalah kerendahan hati menerima segala kotoran, kekurangan, dan kesalahannya, bukan mengingkarinya. Di sinilah proses kedalaman jiwa samudera seorang pemimpin.
Kelima, seorang pemimpin dalam filosofi Hastabrata wajib berjiwa langit. Ingat sifat langit itu berbeda dengan horizon (kaki langit). Horizon itu hanyalah sebuah ilusi keterbatasan organ sensoris manusia. Langit itu berbeda dengannya. Ia merupakan atap bagi bumi yang sesungguhnya.
Langit itu cakrawala. Ia simbol bagi luasnya ilmu pengetahuan. Pemimpin berjiwa langit dengan sendirinya adalah mereka yang memiliki kompetensi, kemampuan, kecerdasan, seni, dan kecakapan yang mampu ditularkan kepada yang lain.
Seorang pemimpin yang luas pengetahuan, dengan sendirinya adalah mereka yang punya kecerdasan dan kemampuan berpikir objektif, kritis, dan logis. Bukan sebaliknya, menutup keluasan wawasan anak buah dan masyarakat dengan politik kebijakan bersayap, apalagi ada kepentingan tertentu bersifat tendensius.
Keenam, seorang pemimpin dalam filosofi Hastabrata wajib berjiwa angin. Ingat, angin itu mampu berembus di mana dan kapan saja. Angin terbentuk oleh adanya perbedaan tekanan udara. Seorang pemimpin adalah yang memiliki kemampuan angin, tergerakkan dan mampu menggerakkan dalam hakikat perbedaan.
Pemimpin berjiwa angin adalah mereka yang keberadaan dan pengaruhnya bisa dirasakan oleh orang lain. Ingat, hakikat pemimpin dalam filosofi angin bukan simbol kekuasaan, tetapi adalah mereka yang mau dan mampu turun gunung menghadapi masalah, peduli, dan memiliki pengorbanan diri dalam segala kondisi yang dihadapi. Bahkan, berani menjadi angin segar bagi masalah dari anak buah yang dipimpinnya. Sama sekali bukan mereka yang selalu cuci tangan dengan menimpakan kesalahan pada orang lain.
Ketujuh, seorang pemimpin dalam filosofi Hastabrata wajib berjiwa bulan. Ingat bahwa bulan itu hanya bisa dipandang jelas ketika malam hari. Metafora bulan adalah keindahan, sehingga orang yang memandang bulan, mestinya bisa merasakan damai, meskipun dalam pagutan masalah yang paling gelap sekalipun.
Karena itu, ujian terbesar seorang pemimpin adalah jiwa kearifan yang terwujud dalam kebijaksanaannya. Pemimpin berjiwa bulan adalah sosok yang memberi kedamaian pada sekitarnya. Pemimpin wajib memberi rasa damai yang nyaman dan membuat hati gembira. Pemimpin berjiwa bulan senantiasa memberikan harapan dalam semua kondisi dan keputusasaan. Bukan sebaliknya, menjadi sumber kegelisahan karena tersapu mendung dan kegelapan, sehingga cahayanya tak berimbas bagi malam.
Kedelapan, seorang pemimpin dalam filosofi Hastabrata wajib berjiwa bintang. Mari diingat, salah satu unsur alam paling indah ketika malam untuk dilihat adalah bintang. Seorang pemimpin adalah hakikat keindahan itu sendiri. Bahkan, tidak saja menerbitkan keindahan, tetapi seorang pemimpin itu mampu memberikan arah mata angin pada mereka yang membutuhkan. Memberikan arah jelas atas perahu yang dinakhodai dalam mengarungi samudera perjalanan. Bintang hadir menjadi pemandu bagi para nelayan.
Hakikat seorang pemimpin berjiwa bintang adalah yang mampu menjadi pengarah dan pedoman bergerak bagi sekitarnya.
Fungsi metafisika bintang sebagai pengarah berarti pemimpin bisa menjadi inspirasi bagi orang lain, khususnya yang dipimpin. Sungguh adalah kodrat seorang pemimpin itu wajib menjadi inspirasi bagi orang lain. Seorang pemimpin inspiratif (filosofi bintang) itu adalah pemimpin yang memiliki prinsip diri menjadi ruh gerak tulus kepemimpinan. Bukan artifisial kebijakan seolah-olah, tetapi menjadi hakikat kuat kepempimpinannya. Bahkan dalam ruh spiritualitas trandensental, seorang pemimpin itu harus "makrifat" atas kata dan perbuatannya.
Semoga di tahun politik ini, ketika semua orang merasa berkemampuan menjadi pemimpin, dapat merenungkan kembali hakikat luhur seorang pemimpin. Kehadiran pemimpin adalah wakil dzat Semesta Keilahian yang bisa memberikan berkah atau bencana bagi kehidupan di kemudian hari.
Kelak, seorang pemimpin akan dikenang dan dicatat di lembar waktu sebagai pejuang atau pecundang, sebagai penghadir nikmat atau pengkhianat.
Sungguh bagi saya, hakikat kepemimpinan itu bukanlah berkah, tetapi musibah. Kita sudah diingatkan oleh seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, yakni Sayyidina Umar bin Khattab, dengan "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun", ketika mendapat amanah menjadi pemimpin.
*) Dr Sutejo, MHum adalah dosen di LLDIKTI VII Jatim pada STKIP PGRI Ponorogo dan Dewan Pakar PW LTNU Jawa Timur.
Copyright © ANTARA 2023