Bandar Sri Sendayan, Malaysia (ANTARA News) - Perdana Menteri Prancis Jean-Marc Ayrault hari Senin memuji pemilihan umum di Mali sebagai "keberhasilan besar" bagi Paris, yang mengirim pasukan ke negara Afrika itu tahun ini untuk mengusir kelompok militan di wilayah utara.

Rakyat Mali memberikan suara mereka pada Minggu untuk memilih presiden baru dalam pemilu pertama sejak kudeta militer Maret 2012 mendorong negara itu ke dalam kekacauan.

"Selamat, pemilu Mali berjalan dengan baik... Bagi Prancis, itu merupakan keberhasilan besar," kata Ayrault selama kunjungannya ke Malaysia.

Menurutnya, pemilu itu dan peranan Prancis di Mali telah menyoroti citra Paris di seluruh dunia.

Hasil resmi pemilu Mali itu belum diumumkan. Presiden Prancis Francois Hollande menyambut baik pelaksanaan pemilu yang lancar, yang ditandai dengan kemunculan pemilih dalam jumlah besar dan tidak adanya insiden berarti.

Pemilihan umum presiden itu dianggap sebagai langkah penting untuk mengembalikan stabilitas negara Afrika barat yang dilanda perang itu.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu sebelum mereka diusir oleh pasukan pimpinan Prancis pada tahun ini.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Prancis akan mengurangi pasukannya yang berjumlah 4.500 orang menjadi 1.000, dan resolusi PBB mengizinkan Prancis "menggunakan segala cara yang diperlukan" untuk campur tangan ketika pasukan PBB "berada dalam ancaman serius dan segera".

Pasukan Afrika barat di Mali membentuk kekuatan inti dari Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensi PBB, yang dikenal dengan singkatan Prancis MINUSMA. Pasukan PBB yang berkekuatan 12.000 orang itu menggantikan pasukan Afrika pimpinan Prancis pada Juli,. demikian AFP.

(M014)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013