Jember, (ANTARA News) - Untuk mengatasi kerusakan hutan yang mengakibatkan terjadinya penggurunan, diperlukan langkah terintegrasi sektoral mulai pengawasan, penegakan hukum, sistem manajemen dan pengelolaan hutan dalam proses rehabilitasi lahan. Kepala Badan Penelitian Kehutanan, Wahyudi Wardoyo, Kamis (27/7) mengatakan, di Jember, dalam pengelolahan hutan harus dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai sektor. Selain itu, juga perlu dilakukan perubahan paradigma pengelolaan hutan dari pengelolaan yang terpusat pada negara atau "state based on forest management" menjadi pengelolaan yang mendasarkan pada masyarakat setempat "community based on forest management". Hal ini dimaksudkan, agar terjadi percepatan rehabilitasi lahan sesuai dengan target kehutanan dalam melakukan reboisasi yang dimulai sejak tahun 2003 hingga tahun 2006, yakni mencapai tiga juta hektar. Pembangunan kehutanan adalah investasi jangka panjang, dimana keberhasilan pembangunan kehutanan tidak cukup dilihat pada satu, lima, atau 10 tahun pertama. Meski demikian, dari rekam jejak yang telah dijalani selama lima tahun terakhir, keberhasilan sebuah program bisa diidentifikasi. Selain melakukan program percepatan rehabilitasi lahan, pihak kehutanan juga melakukan inventarisasi ulang terhadap sejumlah bibit yang selama ini dikatakan unggul, seperti bibit jati emas. Menurut dia, bibit jati emas yang dikatakan sebagai bibit unggul dari Myanmar dan Thailand, ternyata pengakuan kedua negara tersebut, tidak pernah mengeluarkan bibit ke luar negeri. "Ini berarti, ada bentuk pembohongan publik yang harus diluruskan kembali," tutunya. Untuk itu, lanjut dia, dengan inventariasi bibit unggul, maka diharapkan tidak terjadi lagi muncul bibit unggul yang pada dasarnya tidak memiliki kekhususan. "Untuk itu peran masyarakat tetap diperlukan, agar langkah kehutanan berjalan dengan baik," ucapnya.(*)

Copyright © ANTARA 2006