Banjarbaru (ANTARA News) - Sekelompok anak muda berpakaian adat Suku Banjar membunyikan aneka alat yang bisa melahirkan irama, baik hanya sekedar botol plastik, pentongan terbuat dari bambu, panci bekas, drum bekas, sampai dengan peralatan modern seperti alat band.
Puluhan grup berlomba menampilkan aneka irama yang dinilai menarik sebagai sarana membangunkan masyarakat untuk makan sahur yang disebut "bagarakan".
Bukan hanya irama dari bunyi-bunyian yang ditampilkan lebih menarik tetapi juga kostum yang dikenakan, tak sebatas hanya pakaian adat Suku Banjar, tetapi juga ada yang berkreasi dengan mengenakan pakaian pocong, pakaian ala Arab, bahkan ada yang mengenakan kostum wayang.
"Grup kami berusaha menampilkan sesuai yang bisa dinilai unik, agar lebih menarik,"kata Dulah salah seorang anggota grup "bagarakan" yang ikut dalam festival bagarakan sahur yang diselenggarakan Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarbaru, Sabtu malam (27/7) hingga Minggu dinihari (28/7).
Festival yang dihadiri puluhan ribu masyarakat tersebut berpusat di Lapangan Murjadi kota yang berjuluk "kota apem" tersebut.
Suasana festival pun kian semarak setelah dibarengi dengan pesta kembang api yang diluncurkan di atas balaikota sehingga memuaskan ribuan penonton yang menyaksikan event tahunan itu.
Kegiatan tahunan yang di gelar setiap bulan Ramadhan dan pelaksanaannya memasuki tahun ke-14 dibuka Wali Kota Banjarbaru Ruzaidin Noor didampingi anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Kota Banjarbaru.
Ketua panitia pelaksana Syaifullah mengatakan, festival bagarakan digabungkan dengan festival tanglong dengan jumlah peserta yang mengikutinya 156 peserta, terdiri dari festival tanglong se-Kalsel yang diikuti 20 peserta dan se-Kota Banjarbaru sebanyak 21 peserta.
Kemudian peserta bagarakan tingkat Kalsel sebanyak 54 peserta dan se-Kota Banjarbaru diikuti 61 peserta yang seluruhnya memperebutkan hadiah dengan total sebesar Rp142,5 juta.
Perkembangan Bagarakan
Sementara di beberapa pelosok Kalsel budaya bagarakan masih bisa terlihat walau tidak semarak dibandingkan era tahun 60 hingga 80-an, kegiatan tersebut berkurang setelah banyaknya peralatan elektronik seperti pengeras suara di surau,langgar, dan masjid yang memudahkan orang membangunkan warga untuk bersahur.
Tetapi bagi sebagian anak remaja putra tetap saja mereka berkeliling kampung seraya memukul aneka peralatan dapur, seperti panci, wajan, ember, cangkul, jeregen, bahkan drum hingga mengeluarkan bunyi berirama. Sesekali mereka bersuara "sahuuuuur," "sahuuuuur."
"Bagarakan saat sahur ini merupakan hiburan tersendiri bagi anak muda di desa,karena itu tak pernah dilewatkan kegiatan tersebut saat Ramadhan," kata Damrah tokoh masyarakat Desa Maradap Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Balangan.
Menurut Damrah sewaktu ia masih remaja dulu tahun 60-an pernah membentuk sebuah grup bagarakan sahur di kampungnya.
Grup mereka tersebut hampir setiap malam melakukan kegiatan dari kampung yang satu ke kampung yang lain.
Saat itu, bukan hanya peralatan dapur yang menjadi media bunyi-bunyian tetapi ada yang memanfaatkan biola, babun, dan gong yang mengalunkan irama seni tradisi suku Banjar.
Kala itu hampir semua kampung di wilayah kaki Pegunungan Meratus tersebut membentuk grup bagarakan, mereka umumnya menyebutkan sebagai grup "pargum" (persatuan guring melandau).
Antara grup kampung yang satu dengan kampung yang lain selalu menampilkan grup yang terbaik, artinya dengan peralatan bunyi-bunyian yang lebih baik dan enak di didengar.
Bahkan antar grup menampilkan juga atraksi, seperti tari-tarian, seni "kuntau" (semacam pencak silat), kuda gepang, dan atraksi seni tradisi lainnya seperti lamut, madihin,atau kasidahan.
"Bahkan yang lebih seru lagi, bagarakan tidak hanya dilakukan satu grup di kampung itu saja, tetapi melibatkan juga orang tua di kampung itu, seperti dalam acara "bapangantinan" (kawin-kawinan tiruan)," katanya.
Sebab, katanya lagi, pada era tersebut acara bagarakan sahur dilakukan "bahaharatan" (semacam kontes) antara kampung yang satu dengan kampung yang lain yang dilakukan secara bergantian.
Artinya bila malam ini kampung yang satu melakukan pegelaran ke kampung yang lain, maka malam berikutnya kampung yang lain itu harus membalasnya dengan menampilkan atraksi bagarakan ke kampung yang melakukan pegelaran bagarakan terdahulu begitu seterusnya balas berbalas.
Akibat balas berbalas setiap malam itu maka grup yang satu berusaha menyajikan acara bagarakan lebih semarak, maka tak jarang bagarakan sahur tak sebatas membunyikan peralatan dapur tetapi sudah merupakan bentuk atraksi seni hiburan rakyat di saat Ramadhan.
Bahkan pernah, katanya menceritakan masa lalunya, ada satu kampung membalas pertunjukan hiburan tersebut setelah Lebaran karena untuk membalas saat Ramadhan keburu waktunya sudah habis, agar tidak merasa kalah mereka pun membalasnya saat hari Idul Fitri kedua.
Seperti atraksi seni "naga-naga-an" yang dilakukan oleh warga Pandam Kecamatan Awayan untuk membalas terhadap grup pemuda Inan Kecamatan Paringin, pada tahun sekitar tahun 65-an, tuturnya sambil tersenyum.
Menurut pengamatannya, bagarakan sahur ini masih terus berkembang hingga awal tahun 90-an, bahkan terakhir memanfaatkan peralatan bunyi-bunyian elekrtonik, seperti karaoke-an, atau pegelaran orkes dangdut.
Tetapi tambahnya, setelah waktu terus berlalu maka hiburan bagarakan sahur mulai awal tahun 90-an hingga tahun 2000-an kian terlupakan.
Pewarta: Hasan Zainuddin
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013