Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah asosiasi dalam industri sawit dan produk turunannya meminta pemerintah Indonesia mempertimbangkan ulang keanggotaannya di APEC jika organisasi kerja sama ekonomi Asia Pasifik itu tidak mau mengakui minyak sawit Indonesia sebagai produk yang ramah lingkungan (green products).
Desakan itu disampaikan oleh Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Asosiasi Pengusaha Oleokimia Indonesia (APOLIN), dan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) dalam acara buka bersama media di Jakarta, Jumat.
Menurut Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga, kampanye negatif mengenai minyak sawit Indonesia memang sengaja didengungkan oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa dengan tujuan agar produk-produk sawit Indonesia tidak bisa bersaing atau bahkan tidak laku di pasar internasional.
Kampanye negatif terus-menerus sengaja dikumandangkan oleh Eropa dan AS untuk melindungi produk mereka sendiri di pasar dunia, mengingat kenyataannya harga produk sawit Indonesia harganya bisa lebih murah dan produksinya lebih efisien.
Ditambah lagi bahwa potensi industri kelapa sawit Indonesia sangat besar dan mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan dunia.
Berbagai upaya untuk membendung produk sawit Indonesia terus dilakukan oleh Eropa, mulai dari isu lingkungan, anti dumping, hingga anti subsidi, meskipun sebenarnya mereka membutuhkan pasokan minyak sawit dan produk turunannya dari Indonesia, kata Sahat.
Sekjen APROBI Paulus Tjakrawan menekankan jika perlu Indonesia keluar dari keanggotaan APEC kalau tiga produk ekspor andalan dalam negeri tidak bisa masuk dalam green product.
"Kalau perlu kita keluar dari APEC kalau tiga produk andalan kita tidak bisa masuk green product, untuk apa kita ikut," kata Paulus.
Menurut Paulus, kampanye negatif mengenai minyak sawit Indonesia yang dilancarkan Eropa khususnya, memang suatu kesengajaan dan dilakukan secara sistematis serta berdampak pada kinerja ekspor Indonesia.
Pada produk biodiesel, misalnya, menurut Paulus, ekspor Indonesia tahun ini sangat turun dibanding tahun lalu yang mencapai 1,5 juta ton.
"Tahun ini kami nggak yakin bisa mencapai itu," katanya.
Sementara Ketua APOLIN Togar Sitanggang menambahkan, selain hambatan-hambatan di pasar dunia, industri oleokimia dalam negeri juga menghadapi sejumlah hambatan seperti kebijakan bea keluar dan kurangnya pasokan gas.
"Beberapa minggu lalu terjadi kekurangan pasokan gas di Medan. Kami APOLIN mengalami kendala produksi karena kekurangan pasokan gas dari PGN. Permasalahan kekurangan gas di Belawan juga sudah terjadi bertahun-tahun tapi belum terpecahkan," katanya.
Perusahaan-perusahaan olekimia akhirnya mencari solusi sendiri untuk mengatasi kelangkaan pasokan gas alam itu, antara lain dengan menggantikannya dengan LPG agar tetap bisa berproduksi.
Dalam hal kebijakan, para pengusaha oleokimia, menurut Togar sangat menyayangkan atas dimasukkannya sejumlah produk oleokimia ke dalam produk yang terkena bea keluar, padahal karakteristiknya berbeda dengan produk refinary biasa.
Beberapa waktu ke depan, katanya, akan diadakan pertemuan antara pemerintah dengan semua produsen oleokimia untuk menjelaskan perbedaan produk oleokimia dengan produk refinary biasa.(*)
Pewarta: Suryanto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013