Yogyakarta (ANTARA) - Beberapa delegasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada Senin (18/9) malam, hadir langsung dalam sebuah sidang level dunia di Riyadh, Arab Saudi, dengan hati berdebar.
Mereka diundang Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) untuk menyaksikan langsung penentuan hasil dari jerih payah pengusulan "Sumbu Filosofi Yogyakarta" menjadi warisan budaya dunia yang prosesnya telah dimulai sejak 2014.
Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi Abdul Aziz Ahmad dan Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam X turut hadir dalam momen bersejarah pada malam itu.
Hasilnya, perjuangan panjang pengajuan warisan budaya dunia yang ditempuh selama hampir sembilan tahun itu berbuah manis, karena pemimpin dan peserta Sidang ke-45 Komite Warisan Dunia atau World Heritage Committe (WHC) menerima usulan itu secara penuh, sesuai dokumen penetapan WHC 2345.COM 8B. 39.
"Selamat untuk Indonesia atas lolosnya Sumbu Filosofi menjadi Warisan Budaya Dunia," ucap Ketua Komite Warisan Dunia UNESCO Abdulelah Al-Tokhais, saat memimpin jalannya sidang malam itu.
Berbeda dengan nominasi warisan dunia dari negara-negara lain, proses penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia dalam sidang itu tergolong cepat, bahkan tanpa satu pun sanggahan.
Sejak saat itu, Sumbu Filosofi Yogyakarta resmi menjadi Warisan Budaya Dunia yang ke-6 asal Indonesia yang telah diakui UNESCO, setelah Kompleks Candi Borobudur (1991), Kompleks Candi Prambanan (1991), Situs Prasejarah Sangiran (1996), Sistem Subak sebagai Manifestasi Filosofi Tri Hita Karana (2012), dan Tambang Batubara Ombilin, Sawahlunto (2019).
Sumbu Filosofi Yogyakarta atau dalam daftar Warisan Dunia UNESCO dikenal dengan "The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks" disebut sebagai perpaduan indah antara warisan budaya benda dan tak benda serta memiliki arti penting secara universal.
Ditetapkannya Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia diseleksi dari beberapa kriteria, di antaranya pertukaran nilai dan gagasan penting antara berbagai sistem kepercayaan, seperti animisme, Hindu, Buddha, Islam (sufi), dan pengaruh dari Barat.
Tidak seperti umumnya warisan budaya yang berbentuk bangunan atau mudah dilihat, Sumbu Filosofi Yogyakarta berwujud konsep tata ruang yang membentang dari Panggung Krpayak hingga Tugu Yogyakarta yang dianggap memiliki makna filosofi tinggi bagi masyarakat dunia.
Arsitek jenius
Gubernur DIY yang juga Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menganggap penetapan UNESCO tersebut sekaligus bentuk penghargaan dunia atas mahakarya leluhurnya, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono I, sebagai pemrakarsa Sumbu Filosofi Yogyakarta.
Sebagai seorang arsitek yang sangat jenius, Raja Pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada abad ke-18 itu merancang pola tata ruang Kota Yogyakarta pada 1755 dengan penuh makna dan filosofi tinggi.
Konsep tata ruang itu kemudian dikenal sebagai Sumbu Filosofi Yogyakarta dengan Keraton Yogyakarta sebagai titik pusatnya.
Konsep tata ruang karya HB I tak sekadar mementingkan keindahan, namun dibuat berdasarkan konsepsi Jawa berbentuk struktur jalan lurus yang membentang mulai Panggung Krapyak di sebelah selatan, Keraton Yogyakarta, sampai Tugu Yogyakarta di sebelah utara.
Struktur jalan tersebut berikut beberapa kawasan di sekelilingnya yang penuh simbolisme filosofis merupakan perwujudan falsafah Jawa tentang keberadaan manusia yang meliputi daur hidup manusia (Sangkan Paraning Dumadi), kehidupan harmonis antarmanusia dan antara manusia dengan alam (Hamemayu Hayuning Bawana), hubungan antara manusia dan Sang Pencipta serta antara pemimpin dan rakyatnya (Manunggaling Kawula Gusti), serta dunia mikrokosmik dan makrokosmik.
Perjalanan dari Panggung Krapyak menuju Keraton mewakili konsepsi sangkan (asal) dan proses pendewasaan manusia. Sementara perjalanan dari Tugu Golong Gilig menuju ke Keraton mewakili filosofi paran (tujuan) yaitu perjalanan manusia menuju Penciptanya.
Di sepanjang kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta itu, hingga kini masih berlangsung dan terawat beragam tradisi dan praktik budaya Jawa yang terejawantahkan dalam konsep pemerintahan, hukum adat, seni, sastra, festival, hingga ritual.
Dengan demikian, tujuan utama penetapan itu bukan semata untuk memeroleh status warisan dunia yang dianggap banyak negara amat bergengsi, tetapi lebih didorong untuk melestarikan warisan budaya atau jati diri Yogyakarta yang amat berharga.
Konsekuensi
Buah manis penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO telah melalui serangkaian proses panjang nan tidak mudah.
Perjuangan mempertahankan status itu tentu jauh lebih berat karena Sumbu Filosofi Yogyakarta kini bukan sekadar menjadi milik DIY atau Indonesia, tapi juga milik dunia, sehingga komitmen bersama untuk menjaga sesuai standar internasional menjadi sangat penting.
Setelah resmi ditetapkan sebagai warisan budaya dunia, berbagai kegiatan pembangunan di sepanjang Sumbu Filosofi Yogyakarta, dari Panggung Krapyak sampai Tugu Yogyakarta, harus melalui asesmen.
Ketentuan itu tertuang dalam dokumen rencana pengelolaan (management plan) Sumbu Filosofi Yogyakarta yang telah disusun Dinas Kebudayaan DIY sebagai salah satu syarat pengajuan warisan budaya dunia ke UNESCO.
Dokumen itu kemudian distrukturkan dalam agenda yang disebut "Satu Aksi Sumbu Filosofi: Budaya Jogja Mendunia" (Si Sufi Jogja).
Dalam dokumen itu memuat rencana mengatasi lima faktor tekanan terhadap kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta, mulai dari tekanan pembangunan, lingkungan, kesiapsiagaan terhadap bencana, pariwisata, dan kebudayaan yang berkelanjutan, hingga pemberdayaan masyarakat sekitar.
Terkait tekanan lingkungan, Pemda DIY berupaya menekan emisi karbon dan kemacetan lalu lintas di kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta melalui sejumlah program.
Tidak hanya itu, UNESCO pun telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi yang harus dipenuhi untuk mempertahankan status itu.
Bagi Pemerintah Daerah (Sekda) DIY, pengelolaan Sumbu Filosofi Yogyakarta akan dilakukan oleh empat unsur, yaitu Keraton, Pemda DIY, Pemkot Yogyakarta, dan Pemkab Bantul, yang berfokus pada sektor perencanaan, sektor infrastruktur, sektor kebudayaan dan pariwisata, sektor ekonomi dan perdagangan, serta sektor ketenteraman dan ketertiban umum.
Manakala pengelolaan kawasan warisan budaya tersebut pada akhirnya tidak sesuai atau menyimpang dari rekomendasi, maka sewaktu-waktu status tersebut dapat dicabut oleh UNESCO.
Kesejahteraan
Warisan budaya dunia seyogianya tak sekadar menjadi monumen atau simbol kebanggaan bagi anak cucu, tetapi harus memberi dampak konkret dan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
Pemda DIY pun menyiapkan sejumlah program, salah satunya paket wisata Sumbu Filosofi.
Paket wisata itu akan mengeksplorasi potensi wisata, mulai dari Panggung Krapyak, Keraton, hingga Tugu Yogyakarta, dengan konsep ramah lingkungan.
Dalam paket itu, Dinas Pariwisata (Dispar) DIY menggambarkan, antara lain wisatawan akan diajak berjalan kaki atau bersepeda sembari menikmati dan mempelajari sejarah dan budaya yang ada di sepanjang kawasan itu.
Selain ramah lingkungan, berjalan kaki atau bersepeda dinilai bakal membuat wisatawan lebih mampu mendalami makna dan merasakan suasana Sumbu Filosofi Yogyakarta.
Untuk mendukung paket wisata tersebut, Dispar DIY beserta instansi terkait bakal memetakan kesiapan masyarakat serta potensi kampung-kampung wisata yang tersebar di sepanjang kawasan itu yang berpotensi menjadi alternatif tempat menginap para wisatawan.
Kalangan DPRD DIY menyebutkan mendukung seluruh program pelestarian Sumbu Filosofi Yogyakarta sekaligus memanfaatkannya sebagai modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui aktivitas pariwisata.
Diharapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta tak bernasib sama dengan beberapa warisan dunia lain yang kekuatan daya tarik wisatanya tak bertahan lama.
Lebih dari sekadar materi, Budayawan Yogyakarta Ki Tulus Widodo juga berharap penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia menjadi momentum menyejahterakan masyarakat melalui penanaman nilai-nilai moral dan spiritual yang terkandung di dalamnya.
Falsafah Jawa tentang keberadaan manusia yang meliputi daur hidup manusia atau "Sangkan Paraning Dumadi" dinilai penting diimplementasikan dalam pelajaran di sekolah, karena menyangkut penghayatan bahwa kehidupan tidak hanya berlangsung di dunia, tetapi juga di akhirat.
Dengan mengetahui hal semacam itu, maka akan mendorong masyarakat menjalani kehidupan sesuai tuntunan religiusitas atau agama masing-masing.
Setelah penobatan Sumbu Filosofi Yogyakarta menjadi warisan budaya dunia, kini Yogyakarta harus memikul tambahan gelar atau julukan yang tidak ringan, setelah Kota Gudeg, Kota Pariwisata, Kota Pelajar, tersemat pula gelar baru, yakni "The World Heritage City" atau Kota Warisan Dunia.
Pemerintah bersama seluruh komponen masyarakat di sekitarnya adalah aktor utama yang paling menentukan sampai kapan gelar-gelar itu layak atau pantas disandang Yogyakarta.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023