Tantangan cukup besar untuk demokrasi di Indonesia bahwa ongkos politik sekarang tinggi sekali.

Jakarta (ANTARA) - Peneliti Senior Koninklijk Instituut voor Taal –, Land – en Volkenkunde (KITLV) Leiden, Belanda, Ward Berenschot menilai bahwa biaya politik di Indonesia sangat mahal untuk mewujudkan demokrasi berkualitas sehingga perlu mengubah sistem pemilihannya.

Dalam diskusi daring yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang dipantau di Jakarta, Minggu, Ward menyampaikan tingginya ongkos politik akan mereduksi jumlah orang yang berkompeten untuk menjabat di pemerintahan atau lembaga negara.

"Tantangan cukup besar untuk demokrasi di Indonesia bahwa ongkos politik sekarang tinggi sekali di Indonesia," kata Ward dalam diskusi dengan tema Eksplorasi Gagasan Menata Demokrasi Pasca-Pemilu 2024 itu.

Penulis buku Democracy for Sale itu mengatakan sudah saatnya pemerintah Indonesia mengubah sistem pemilihan umum yang bisa mengakomodasi seluruh sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten, tanpa harus mengeluarkan uang yang banyak untuk berkontribusi.

Menurut dia, seharusnya tidak hanya orang yang kaya yang mendominasi untuk masuk ke dunia politik, tetapi orang biasa dengan banyak gagasan bagus dan penting bisa ikut berkontribusi.

"Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satunya adalah subsidi untuk partai politik," katanya.

Profesor Antropologi Politik Komparatif di Universitas Amsterdam itu menjelaskan bahwa pasca-negara memberi subsidi untuk partai politik maka mereka bisa fokus mengedukasi pada masyarakat sesuai demham ideologinya.

Dengan demikian, kata dia, tidak perlu melakukan praktik mahar politik kepada individu yang membutuhkan "kendaraan" untuk berkompetisi saat pemilu.

Dikatakan pula bahwa hal itu tentu harus dibuat jelas regulasi untuk mengatur output atau dampak apa saja dari penggunaan anggarannya.

Selain itu, yang membuat biaya politik sangat mahal karena partai politik harus mengeluarkan biaya banyak untuk logistik saksi pemilu, tim sukses, dan kebutuhan lainnya sehingga berpotensi terjebak dalam mahar politik oleh orang kaya yang tidak memiliki gagasan untuk membangun negara.

Ward juga menyoroti lemahnya pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menghentikan praktik politik uang (money politicI) karena keterbatasan anggaran guna berkeliling memantau fenomena itu.

Fenomena beli suara (vote buy), lanjut dia, sudah umum terjadi dan hal itu sulit dihentikan sehingga bermuara pada tingginya biaya politik yang dikeluarkan seorang calon kepala daerah dan calon anggota legislatif atau partai politik untuk menang dalam kompetisi.

Jika semua itu terus terjadi, menurut dia, kualitas demokrasi tentu akan jauh menurun sehingga berdampak pada kualitas pemimpin pemerintahan atau lembaga negara di Indonesia menjadi rendah.

Oleh karena itu, dia mengajak kepada seluruh pihak untuk bersama-sama mengubah kondisi itu agar keberlanjutan demokrasi yang berkualitas tinggi bisa terwujud.

Baca juga: Relawan Nderek Guru deklarasi dukung Prabowo-Gibran
Baca juga: Ganjar soal Prabowo 'Ndasmu Etik': Biar rakyat menilai
Baca juga: Anies berencana bawa Aceh keluar dari kemiskinan


Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada hari Senin, 13 November 2023, menetapkan tiga bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden menjadi peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024.

Hasil pengundian dan penetapan nomor urut peserta Pilpres 2024 pada hari Selasa, 14 November 2023, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar nomor urut 1, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nomor urut 2, dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. nomor urut 3.

KPU juga telah menetapkan masa kampanye mulai 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, kemudian jadwal pemungutan suara pada tanggal 14 Februari 2024.

Pewarta: Donny Aditra
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2023