Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024, kita bisa menagih janji pada calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) mengenai lebih banyak ruang yang bebas dari asap rokok.
Analis legislatif pada Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Rohani Budi Prihatin menyatakan bahwa di dalam visi-misi capres-cawapres yang kita ikuti, belum ada satu pun pasangan yang menyatakan berkomitmen pada pengendalian tembakau.
Sementara dari anggota legislatif sendiri, juga belum ada yang secara nyata berkomitmen berjuang untuk pengendalian rokok.
Harapan saat ini bisa digantungkan pada para tokoh, termasuk capres-cawapres yang akan menjadi penentu, apakah ruang-ruang bernapas kita masih banyak dikendalikan oleh asap rokok.
Total rokok yang diisap oleh masyarakat Indonesia ada 323 miliar batang per tahun 2023. Namun, hingga saat ini, belum ada anggota legislatif yang benar-benar menyatakan akan menghapus rokok.
Salah satu Organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, dapat menjadi harapan besar bagi pengendalian tembakau di Indonesia, mengingat hanya organisasi tersebut yang telah mengeluarkan fatwa sejak tahun 2010 bahwa merokok hukumnya haram.
Karena itu, mungkin ada beberapa anggota legislatif yang terafiliasi dengan Muhammadiyah, mau menyatakan dengan tegas bahwa pihaknya mendukung pengendalian tembakau.
Isu tentang rokok ini memang masih menjadi dilema di Indonesia, mengingat di dalam negeri, ada jutaan petani tembakau yang menggantungkan penghasilannya pada industri rokok.
Padahal, ada peluang besar yang bisa dimanfaatkan ketiga pasangan calon (paslon) untuk meraih suara apabila menyatakan benar-benar akan berkomitmen terhadap pengendalian rokok, apalagi pascapandemi, masyarakat mulai lebih sadar akan pentingnya menjaga kesehatan.
Kalau dari peta DPR RI, tidak ada yang mau tegas berjuang, karena banyak massa mereka dari industri maupun petani rokok, sehingga harapan kita saat ini bukan pada kelembagaan, tetapi pada tokoh.
Harapan untuk bernapas tanpa asap rokok sebetulnya sudah ada pada Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, yang mengamanatkan pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau dan rokok elektronik diatur melalui peraturan pemerintah.
Hingga saat ini, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan tengah disusun, tetapi masih menuai kontroversi, termasuk pada pasal terkait pengendalian tembakau.
Padahal, hidup sehat tanpa asap rokok adalah cita-cita bangsa menuju Indonesia Emas 2045, juga sebagaimana yang telah diamanatkan pada pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Kesehatan adalah Hak Asasi Manusia yang diakui sebagai Hak Konstitusi.
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Eva Susanti, perilaku merokok masih menjadi faktor risiko penyebab kematian kedua terbesar di Indonesia, yaitu sebesar 17,03 persen.
Kenaikan kasus kematian karena 33 penyakit tidak menular yang berkaitan dengan perilaku merokok juga masih tinggi, yakni 290.000 per tahun di tahun 2019.
Prevalensi perokok remaja muda 10-18 tahun juga meningkat, dari 1,2 persen di tahun 2013, menjadi 9,1 persen per tahun pada 2018 (data Riset kesehatan dasar atau Riskesdas).
Merokok juga menjadi salah satu penyebab faktor penyumbang angka stunting yang tinggi, dimana sebesar 30,8 persen anak dari orang tua yang merokok memiliki pertumbuhan berat badan rata-rata lebih rendah 1,5 kg dan rata-rata tingginya 0,34 cm lebih rendah dari anak-anak orang tua yang bukan perokok (berdasarkan data Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia tahun 2018).
Paparan iklan yang masif, baik melalui media luar ruangan, seperti poster di toko kelontong, televisi, dan media sosial yang belum diatur dengan jelas menjadi salah satu faktor penyebab prevalensi merokok yang tinggi.
Iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau masih marak, seolah-olah produknya normal dan tidak berbahaya.
Padahal, berdasarkan data, biaya perawatan untuk penyakit akibat merokok tiga kali lipat lebih tinggi daripada cukai yang diterima negara.
Berdasarkan laporan kinerja Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan pada tahun 2017, penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp147,7 triliun, sedangkan berdasarkan penelitian berjudul "Laporan Studi Biaya Kesehatan dari Penyakit akibat Rokok" yang dilakukan pada tahun 2020, tercatat kerugian ekonomi makro pada tahun 2017 akibat merokok sebesar R431,8 triliun.
Untuk itu, diharapkan para paslon dapat membahas lima hal terkait tembakau yang masih tertunda kebijakannya. Pertama, memperbesar peringatan kesehatan pada kemasan rokok atau pictorial health warning (PHW).
Kedua, pengaturan tentang kandungan tar dan nikotin yang diinginkan oleh industri, dimana Kemenkes menginginkan adanya pengaturan kadar maksimal tar dan nikotin.
Ketiga, jam tayang iklan di televisi, yang mesti diupayakan lebih sedikit untuk menjaga anak-anak terpapar, minimal ditayangkan di pukul 23.00-03.00. Untuk pengaturan iklan ini, masih ada penolakan dari industri rokok.
Keempat, kebijakan tentang rokok kemasan yang tidak boleh dijual eceran, dan kebijakan 20 bungkus rokok dalam satu kemasan yang belum disetujui oleh industri.
Kelima, pengaturan iklan di media sosial yang masih harus diatur lebih lanjut.
Kemenkes diamanahi untuk terus menjaga masyarakat agar tetap sehat, tetapi di sisi lain, terkait tembakau ini pemerintah juga tidak ingin mengorbankan salah satu pihak.
Untuk itu, ke depan, isu tentang pengendalian tembakau dapat diangkat oleh para pasangan calon pemimpin, misalnya dengan membandingkan praktik-praktik baik yang telah dilakukan negara-negara di Asia Tenggara.
Berdasarkan hasil pertemuan G20, ditentukan tolak ukur pengendalian tembakau, dimana prevalensi pengguna tembakau di Indonesia masih menempati peringkat tertinggi, yakni sebesar 28,9 persen, dan dari kesembilan negara dalam Asia Tenggara, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang masih memperbolehkan iklan, promosi, dan sponsor rokok.
Pengendalian rokok memang masih menjadi dilema yang sangat besar, namun apabila menyangkut kesehatan 278 juta jiwa masyarakat Indonesia, seharusnya tidak sulit bagi ketiga pasangan calon untuk mulai membawa isu pengendalian tembakau dalam debat yang akan datang.
Pembahasan itu bisa dimulai dari komitmen untuk menghapus iklan, promosi, dan sponsor rokok yang sudah dilakukan oleh delapan negara lain di Asia Tenggara.
Padahal, berdasarkan data, biaya perawatan untuk penyakit akibat merokok tiga kali lipat lebih tinggi daripada cukai yang diterima negara.
Berdasarkan laporan kinerja Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan pada tahun 2017, penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp147,7 triliun, sedangkan berdasarkan penelitian berjudul "Laporan Studi Biaya Kesehatan dari Penyakit akibat Rokok" yang dilakukan pada tahun 2020, tercatat kerugian ekonomi makro pada tahun 2017 akibat merokok sebesar R431,8 triliun.
Untuk itu, diharapkan para paslon dapat membahas lima hal terkait tembakau yang masih tertunda kebijakannya. Pertama, memperbesar peringatan kesehatan pada kemasan rokok atau pictorial health warning (PHW).
Kedua, pengaturan tentang kandungan tar dan nikotin yang diinginkan oleh industri, dimana Kemenkes menginginkan adanya pengaturan kadar maksimal tar dan nikotin.
Ketiga, jam tayang iklan di televisi, yang mesti diupayakan lebih sedikit untuk menjaga anak-anak terpapar, minimal ditayangkan di pukul 23.00-03.00. Untuk pengaturan iklan ini, masih ada penolakan dari industri rokok.
Keempat, kebijakan tentang rokok kemasan yang tidak boleh dijual eceran, dan kebijakan 20 bungkus rokok dalam satu kemasan yang belum disetujui oleh industri.
Kelima, pengaturan iklan di media sosial yang masih harus diatur lebih lanjut.
Kemenkes diamanahi untuk terus menjaga masyarakat agar tetap sehat, tetapi di sisi lain, terkait tembakau ini pemerintah juga tidak ingin mengorbankan salah satu pihak.
Untuk itu, ke depan, isu tentang pengendalian tembakau dapat diangkat oleh para pasangan calon pemimpin, misalnya dengan membandingkan praktik-praktik baik yang telah dilakukan negara-negara di Asia Tenggara.
Berdasarkan hasil pertemuan G20, ditentukan tolak ukur pengendalian tembakau, dimana prevalensi pengguna tembakau di Indonesia masih menempati peringkat tertinggi, yakni sebesar 28,9 persen, dan dari kesembilan negara dalam Asia Tenggara, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang masih memperbolehkan iklan, promosi, dan sponsor rokok.
Pengendalian rokok memang masih menjadi dilema yang sangat besar, namun apabila menyangkut kesehatan 278 juta jiwa masyarakat Indonesia, seharusnya tidak sulit bagi ketiga pasangan calon untuk mulai membawa isu pengendalian tembakau dalam debat yang akan datang.
Pembahasan itu bisa dimulai dari komitmen untuk menghapus iklan, promosi, dan sponsor rokok yang sudah dilakukan oleh delapan negara lain di Asia Tenggara.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023