Kota Bandung, Jawa Barat (ANTARA) - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengungkapkan beberapa peluang usaha baru sektor ESDM dari upaya penurunan emisi.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, salah satunya melalui perdagangan karbon.
"Bahwa dorongan untuk penurunan emisi basisnya jadi market, pendekatan itu pendekatan market. Jadi, ada supply ada demand. demand-nya adalah pihak-pihak yang memang harus menurunkan emisinya. Nanti supply-nya adalah pihak-pihak yang bisa berkontribusi untuk penurunan emisi atau dikenal dengan carbon credit," kata Dadan saat workshop media dengan tema "Bedah NZE untuk Peluang Usaha Baru Sektor ESDM" di Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu.
Baca juga: BRIN-CRMAX kerja sama untuk tekan emisi karbon
Bursa karbon merupakan sistem perdagangan di mana izin emisi karbon diperjualbelikan dengan tujuan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).
Satu kredit karbon yang dapat diperdagangkan setara dengan penurunan emisi satu ton karbondioksida. Ketika sebuah kredit karbon digunakan untuk mengurangi, menyimpan, atau menghindari emisi, itu menjadi pengganti dan tidak lagi dapat diperdagangkan.
Diketahui pada 22 Februari 2023, Kementerian ESDM meluncurkan perdagangan karbon di pada subsektor pembangkit listrik. Untuk fase pertama di 2023, terdapat 99 PLTU yang menjadi peserta perdagangan karbon dengan total kapasitas 33,5 gigawatt (GW).
Baca juga: Penurunan luas karhutla dan deforestasi berbuah manis
Kemudian pada 26 September 2023, Indonesia meluncurkan bursa karbon Indonesia. Proyek yang telah teregistrasi saat ini, yakni PT Pertamina Geothermal Energy Tbk Lahendong Project Uni 5 dan Unit 6 di Sulawesi Utara.
"Di situ ada yang menjual dan sudah ada yang beli, jadi market-nya ini sudah jalan, memang tidak secepat seperti apa yang kami bayangkan. Saya kira bagus juga awalnya tidak usah terlalu cepat sehingga ada kedewasaan dari sisi harga. Kalau tiba-tiba berebut harganya naik nanti biasanya harganya itu susah turun," lanjut Dadan.
Baca juga: RI terima 100 juta dolar AS dari Norwegia atas penurunan deforestasi
Dalam kesempatan itu, Dadan juga menyinggung terkait dengan kelebihan dan kurangnya emisi CO2 yang dikeluarkan dari PLTU. Ia mengungkapkan bahwa tiap PLTU, mengeluarkan volume CO2 yang berbeda-beda. Hal tersebut tergantung dari sisi teknologi, kapasitas hingga kualitas dari batu baranya sendiri.
"Ada yang emisinya, misalkan 1 kWh itu mengeluarkan emisinya 1.100 gram. Ada yang mengeluarkan emisinya 1.000 gram CO2 per kWh," kata Dadan.
Baca juga: Dunia puji aksi iklim Indonesia
Ia pun memberikan gambaran, pemerintah misalnya menetapkan untuk 2023 ini, emisi untuk PLTU itu di angka 1.050 gram CO2.
"Jadi, yang emisinya 1.100 dia harus menurunkan menjadi 1.050. Cara menurunkannya bagaimana? dia bisa sebetulnya melakukan penghematan energi sehingga nanti emisinya bisa turun, konsumsi batu barunya turun emisinya turun.
Baca juga: Paviliun Indonesia bahas berbagai upaya penurunan emisi karbon
tetapi ada cara cepat, beli saja karbon kredit yg berasal dari PLTU yang emisinya di bawah 1.050 beli dari situ. Ini yg disebut dengan kalau saya itu sebutnya cap and trade," ujar Dadan.
Selanjutnya, peluang usaha baru lainnya melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Kementerian ESDM menyebut EBT semakin penting untuk pengembangan perekonomian global dan mengurangi dampak perubahan iklim dan menjaga ketahanan energi.
Mengacu pada green rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL), pengembangan EBT akan menghasilkan total investasi sekitar 55,18 miliar dolar AS, membuka 281.566 lapangan kerja baru, dan mengurangi emisi GRK sebesar 89 juta ton CO2e.
Baca juga: Menteri Siti: Langkah Indonesia atasi perubahan iklim sudah konkret
Kemudian, Dadan juga mengungkapkan peluang usaha baru sektor ESDM juga bisa terjadi dari penerapan teknologi carbon capture utilisation storage/carbon capture utilisation storage (CCS/CCUS).
"Yang dimaksud CCS, CO2nya ditangkap, misalkan CO2 dari pembangkit listrik ditangkap CO2nya diambil dibawa terus dimasukkan ke perut bumi disimpan di situ selamanya. Apakah nanti kita akan memperbolehkan kalau misalkan dari Jepang bawa CO2 ke sini? Ini sekarang yang lagi menjadi pembahasan, mereka pasti bayar jadi itu menjadi bisnis baru. Itu yang saya bilang nanti ini jadi peluang usaha CCS karena kita mempunyai potensinya sedemikian besar," kata dia.
Baca juga: Indonesia paparkan kemajuan aksi iklim di COP28
Dadan mengatakan berdasarkan informasi terakhir bahwa Indonesia mempunyai potensi penyimpanan karbon mencapai 500 giga ton CO2.
"Artinya, 500 miliar ton CO2. PLN itu kira-kira mengeluarkan emisinya sekarang angkanya di sekitar 300-340 juta. Kita secara nasional sektor ESDM mengeluarkan emisinya di angka 600 (juta). Jadi, ini cukup untuk sekitar 900 tahun kalau hanya di pakai untuk yang ESDM. Jadi, ini bisa menjadi bidang usaha yang baru dan kita sudah masuk dan kita sekarang mulai melaksanakan hal tersebut," ucapnya.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2023