Yogyakarta (ANTARA) - Konservasi lingkungan menjadi isu yang terus digaungkan sejumlah negara sebagai bentuk jawaban atas perubahan iklim yang mengancam kehidupan manusia, flora, dan fauna di dunia.

Isu itu sebenarnya sudah menjadi bagian penting dalam budaya masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat hukum adat yang mempunyai kearifan lokal untuk menjaga tanah dan air yang menjadi sumber kehidupan mereka.

Mereka menjaga betul keseimbangan alam karena jika alam sudah rusak, maka keberadaan mereka akan terancam, tersisih karena tempat bergantungnya makin hilang.

Kesadaran masyarakat hukum adat itu tidak karena paksaan adanya hukum positif, tetapi sudah menjadi nilai spiritual untuk menjaga keharmonisan dengan alam yang diyakini sebagai titipan Tuhan yang harus dijaga.

Mereka membuat hukum adat untuk mengatur agar alam tidak dieksploitasi berlebihan, jadi ada larangan (sasi) untuk tidak mengambil ikan, menebang pohon, dan berburu hewan di kawasan tertentu.

Hukum itu lebih dipatuhi dibanding hukum positif karena menyangkut sanksi adat dan kepercayaan adanya sanksi dari penguasa alam yang akan menimpa para pelanggarnya.

Hukum adat, menurut Manager Senior Bentang Laut Kepala Burung Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Lukas Rumetna sangat ditakuti masyarakat setempat, sehingga sangat efektif untuk mendukung wilayah konservasi.

Ditakuti karena jika ada yang melanggar sasi, akhirnya sakit dan meninggal, sehingga hukum adat itu lebih ditakuti dibanding hukum positif.

Semangat konservasi yang tumbuh dari hukum adat harus terus diwariskan sebagai modal menggelorakan kelestarian lingkungan dan memperluas kawasan konservasi dengan menetapkan secara hukum positif perairan dan hutan mereka sebagai kawasan konservasi.


Pemberdayaan

Jumlah masyarakat hukum adat di Indonesia yang menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan tercatat ada 33 buah dan baru 15 yang mendapat mendapat legalitas hukum dari pemerintah. Tanpa legalitas hukum dari pemerintah daerah, maka sulit bagi pemangku kepentingan untuk mengucurkan anggaran atau membuat program pemberdayaan di MHA.

Padahal pemberdayaan itu menjadi kata kunci bagi keberlanjutan masyarakat hukum adat.

Dirjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) KKP Victor Gustaf Manoppo, dalam Forum Adat Nasional 2023 di Yogyakarta mendorong setiap pemerintah daerah untuk mengakui keberadaan masyarakat hukum adat secara hukum.

Dengan mengakui secara hukum masyarakat hukum adat, melalui SK bupati ataupun peraturan bupati, maka instansi vertikal bisa ikut masuk dalam pemberdayaan masyarakat agar meningkat kesejahteraannya.

Wajar jika KKP berkepentingan memberdayakan masyarakat hukum adat karena perairan adat yang mereka jaga kelestariannya bisa ikut masuk sebagai kawasan konservasi laut.

Saat ini capaian kawasan konservasi laut di Indonesia baru 28,9 juta hektare atau 8,9 persen dari luas laut teritorial dan akan terus diperluas dengan target 30 persen di tahun 2045.

Kenapa kita harus memperluas kawasan konservasi laut? Karena di situlah sebagai penghasil oksigen untuk kehidupan dan penahan laju perubahan iklim.

Saat ini KKP berupaya membantu dan mendampingi MHA agar mendapat legalitas dari pemerintah kabupaten setempat dan mendorong kementerian dan lembaga untuk bersama-sama memberdayakan MHA.

Jangan sampai MHA yang berjuang menjaga konservasi laut, tapi dari sisi ekonomi tertinggal, sehingga perlu penguatan kapasitas masyarakat agar bisa berdaya. Makin berdaya secara ekonomi, maka makin kuat juga untuk terus mewariskan semangat konservasinya.


MHA sukses

Kisah sukses dua MHA dalam memberdayakan masyarakat yang terungkap pada sesi dialog di Forum Adat Nasional 2023, seakan mendorong kementerian dan lembaga terkait untuk membantu MHA lain yang belum tersentuh.

Adalah Yayasan Konservasi Alam Nusantara berusaha melakukan pendampingan dimulai dengan menyadarkan mereka bahwa MHA mempunyai modal semangat konservasi dan harus mampu mengelola kawasan adat untuk kemakmuran.

Salah satu MHA, yaitu Werur di Distrik Bikar, Kabupaten Tambrau, Papua Barat Daya, ketika didatangi tim YKAN, bahkan tidak tahu kalau mereka sudah mendapat legalisasi melalui peraturan bupati. Artinya dengan perbub itu, maka MHA bisa meminta dana program pemberdayaan dari pemda maupun instansi vertikal.

Setelah memahami status mereka, YKAN mulai membuat perangkat kelembagaan, yaitu dewan adat. Dewan Adat di Werur dibentuk tahun 2023 yang merupakan perwakilan dari tetua masyarakat. Mulailah dewan adat membuat aturan konservasi laut (sasi) yang nanti akan dijalankan oleh pengelola kawasan konservasi.

Dari 12.000 hektare perairan Werur, ada 2.000 hektare perairan yang terkena hukum sasi untuk komoditi teripang dan lobster. Jadi di kawasan sasi itu dilarang menangkap teripang dan lobster yang mempunyai panjang kurang dari 15 centimeter.

Bulan Maret 2024, akan dilakukan pencabutan sasi di kawasan itu, dan masyarakat bersiap panen teripang dan lobster yang harganya cukup tinggi. Masyarakat tak perlu khawatir soal pemasaran karena para pembeli sudah langsung datang ke Werur. Teripang dan lobster itu dijual sampai ke Surabaya dan Makassar.

Sejak dibentuk dewan adat yang mengeluarkan sasi bagi wilayah perairan 2.000 hektare, ternyata masyarakat mendapat hasil dari tangkapan ikan yang semakin banyak.

Menurut Ketua Dewan Adat MHA Werur Junus Rumansara, saat ini bermunculan ikan-ikan yang sejak 20 tahun lalu menghilang dari perairan Werur. Selain itu tiba-tiba sering ada penyu belimbing yang naik untuk bertelur di pantai. Fakta ini menandakan wilayah itu aman dari gangguan pemburu telur penyu.

YKAN juga melakukan pemberdayaan masyarakat dengan mengarahkan pada kelompok usaha produktif, yaitu kerajinan anyaman, kerajinan batu hias, pembuatan minyak ikan, dan usaha pelatihan snorkeling. Ada 6 kelompok yang diberdayakan dengan bantuan hibah dari YKAN, antara Rp60 juta sampai Rp100 juta.

YKAN juga memfasilitasi bantuan kapal boat dan logistiknya untuk patroli pengawasan laut sekitar Warur, sehingga tidak ada nelayan luar yang mencoba memasuki wilayah sasi.


MHA Rutong

Jika MHA Werur mendapat dukungan dari YKAN untuk tumbuh, maka MHA Turong di Kota Ambon yang hadir pada Forum Adat Nasional itu justru bangkit secara mandiri untuk mengelola sumber daya alamnya.

MHA Rutong di Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon, menjadi desa wisata yang menyiapkan penginapan di rumah penduduk sebagai pilihan bagi para wisatawan yang ingin tinggal mengenal budaya setempat.

Raja Negeri Rutong, Reza Valdo Maspaitella, yang baru terpilih tahun 2020, tancap gas dengan menggandeng generasi muda untuk berani menampilkan jati diri Rutong dengan budayanya.

MHA Rutong mulai dikenal setelah konten video yang mengangkat potensi budaya dan eduwisata hutan sagu desa itu menjadi viral dan mendapat Pesona Indonesia Award di tahun 2022 sebagai kampung adat terbaik di Indonesia.

Kemudian pada tahun 2023 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) memasukkan MHA Rutong ke dalam 75 desa wisata terbaik, khususnya di dalam kategori digitalisasi dan konten kreatif.

Ke depan MHA Rutong sudah menyiapkan tiga konsep untuk mendukung pengelolaan sumber daya alam yang menguntungkan, tapi ramah lingkungan.

Pertama, adalah konsep kemitraan pentahelix dengan melibatkan pemangku kepentingan, mulai Universitas Pattimura, Pemkot Ambon, Pemprov Maluku, BUMN, dan swasta, untuk ikut merancang pemberdayaan masyarakat.

Konsep kedua, corporat sosial investment, yaitu dengan mengajak BUMN untuk membina UMKM, misalnya membuat kios-kios di desa yang bisa menjadi sarana menjual produksi masyarakat setempat dan juga produk BUMN.

Ketiga, yaitu konsep crowdfunding atau urun dana melalui aplikasi digital untuk menggalang dana bagi pengembangan usaha.

Dua MHA itu membuka mata para pemangku kepentingan bahwa masyarakat yang berada di pinggiran itu mampu bergerak untuk mandiri, Keduanya menjadi model bagi pengembangan 33 MHA lain yang sudah difasilitasi pembentukannya oleh KKP.

Dari 33 MHA itu tinggal 7 MHA yang belum mendapat legalisasi dari pemerintah daerah. Diharapkan semua segera terlegalisasi secara sisa, sehingga program pemberdayaan bisa terlaksana.


Copyright © ANTARA 2023