Jakarta (ANTARA) - Program Kartu Prakerja yang digagas Presiden Joko Widodo terbukti memberikan dampak yang signifikan kepada para alumninya. Keberhasilan itu diakui di level internasional sehingga banyak negara sahabat yang belajar ke Prakerja. Sosok di balik kinerja itu adalah Denni Puspa Purbasari, Direktur Eksekutif Prakerja.
Denni begitu rinci saat menceritakan pengalamannya selama sekitar empat tahun ini berkecimpung di balik Prakerja. Berkeliling hampir seluruh wilayah Indonesia, mantan Deputi III Kantor Staf Presiden (KSP) itu selalu terkesan ketika mendengar kisah dari para lulusan Prakerja yang hidupnya kini menjadi lebih baik.
Hal itu sejalan dengan Visi Indonesia Emas yang bertujuan menjadikan Indonesia negara maju pada 2045. Seluruh daya dukung yang dimiliki bangsa pun dikerahkan dalam rangka mendorong tercapainya cita-cita tersebut, yang salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Terlebih dengan bonus demografi, pembangunan akan bergerak lebih cepat.
ANTARA berbincang dengan Denni Puspa Purbasari di kantornya di bilangan Jakarta Pusat guna mendapatkan gambaran seperti apa perjalanan program selama lebih dari 3 tahun ini. Berikut cuplikannya :
Seperti apa Prakerja bekerja pada masa pandemi COVID-19? Berapa kali pemerintah harus mengubah peraturan presiden tentang Prakerja terkait kedaruratan ketika itu?
Pada saat program Prakerja diinisiasi, pandemi COVID-19 belum terjadi. Program ini dibentuk karena kita menyadari bahwa kebutuhan upskilling dan reskilling itu luar biasa besar, terlebih karena adanya digital disruption.
Angkatan kerja kita berjumlah sekitar 50 juta orang dari Sabang sampai Merauke, tidak hanya Jawa. Kami berpikir bagaimana masyarakat berkesempatan mengambil pelatihan-pelatihan praktis yang membuat mereka menjadi relevan, bertahan, dan kompetitif, baik pindah pekerjaan atau bahkan naik kelas.
Apalagi Prakerja itu bukan (cuma) untuk penganggur tapi juga untuk mereka yang sudah bekerja namun ingin naik kelas atau ganti pekerjaan yang lebih baik. Penganggur kita hanya 5 persen dari angkatan kerja, sedangkan 95 persen sisanya sudah bekerja.
Masalahnya adalah para pekerja itu hanya memiliki pendapatan rata-rata sebesar Rp3,19 juta per bulan. Itu masih cukup rendah, kita harus gas terus. Kita berupaya menaikkan itu melalui peningkatan skill dan produktivitas.
Kita berupaya meng-upskilling secara massal dengan skala dan diversity yang besar di Indonesia. Karena itu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja dirancang.
Dalam regulasi tersebut sudah forward looking; menyadari Indonesia kita yang luas dan ribuan pulau. Disebutkan juga bahwa pelatihan tidak hanya akan secara offline melainkan juga online.
Kalau kita hanya bersandar pada pelatihan offline maka orang-orang kepulauan harus pergi ke kota-kota provinsi mendapatkan lembaga kursus yang bagus.
Bagaimana dengan saudara-saudara kita di Kabupaten Seram Bagian Barat harus ke Ambon meninggalkan keluarganya, ternak mereka, pekerjaan mereka, membayar transportasi serta living cost seminggu sampai dua minggu untuk mengikuti pelatihan offline. Itu sangat mahal, uang negara tentu tidak kuat.
Lalu belum lagi permasalahan terkait bagaimana kualitas instruktur dan lembaga pelatih yang ada di Ambon, sebagus apa, serelevan apa. Padahal kita ingin mereka mampu lompat yang jauh, anak Seram Bagian Barat langsung mendapat instruktur dari Jakarta.
Bahkan waktu saya berkunjung ke Kabupaten Biak, ada seorang anak yang mengaku bahwa mereka bangga dengan Prakerja karena dia bisa belajar bersama sama anak Jawa dengan instruktur yang sama. Seringkali mereka merasa diberi kesempatan yang paling belakang.
Ini menunjukkan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu benar-benar ada di Prakerja.
Berarti kelas online dirancang bukan karena pandemi Covid-19 semata?
Perpres Nomor 36 Tahun 2020 soal Prakerja sudah dirancang sejak November 2019. Payung hukum ini juga sudah menyebut pelaksanaan pelatihan secara online dan offline. Namun Perpres kita rilis pada Februari 2020 saat pandemi COVID-19 menyerang.
Ini menyebabkan pelaksanaan secara offline tidak bisa kita eksekusi demi keamanan kesehatan masyarakat. Begitu online, ini suatu hal yang completely baru untuk market Indonesia.
Saya pun tidak tahu kesiapan dari lembaga-lembaga pelatihan kita untuk convert secepat-cepatnya dari offline menjadi online. Education technology waktu itu masih terlalu sedikit di Indonesia, berbeda dengan sekarang yang sudah semakin berkembang.
Waktu itu karena pelatihan beralih online sehingga lebih murah, kemudian kita bisa merealokasi anggaran menjadi insentif bagi masyarakat. Presiden Joko Widodo meminta Prakerja berperan semi bantuan sosial (bansos).
Adaptability dari sebuah program sosial is very important. Itu justru karakteristik program yang baik. Bahkan Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) menyatakan Prakerja merupakan program yang bagus karena terbukti menjaga stabilitas di tengah krisis. Dia bisa fleksibel dan disesuaikan dengan konteks ekonomi yang ada.
Terlebih, COVID-19 menyerang tidak hanya orang miskin namun juga kelas menengah atau rentan miskin yang mereka tidak tercatat di penerima bansos reguler seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan sebagainya.
Berangkat dari situ, Prakerja menjadi sarana pelatihan menaikkan skill namun juga sekaligus sebagai bansos karena peserta akan mendapat insentif sebesar sebesar Rp600 ribu per bulan selama empat bulan. Itupun setelah mereka menuntaskan pelatihannya.
Dari insentif tersebut, masyarakat bisa membeli kebutuhan pokok, membayar listrik, membayar air, membeli bensin, hingga membuka usaha menopang kehidupan di tengah krisis pandemi COVID-19.
Skema semi bansos itu terjadi ketika masa pandemi COVID-19. Bagaimana dengan sekarang?
Prakerja semi bansos selama 2020 sampai 2022 itu pelatihannya hanya online karena konteksnya pandemi. Beasiswa pelatihan sebesar Rp1 juta, insentifnya total Rp2,4 juta; Rp600 ribu per bulan selama empat bulan.
Skema normal kita mulai pada 2023 dengan beasiswanya sebesar Rp3,5 juta rupiah dan insentifnya hanya Rp600 ribu. Ini berubah karena pandemi sudah berakhir dan ekonomi sudah mulai membaik sehingga dukungan terhadap biaya beli sudah tidak perlukan lagi.
Selain itu, standar atau durasi pelatihan juga dinaikkan dari yang semi bansos minimal selama dua jam, kemudian mulai naik enam jam pada pertengahan 2021, lalu kini dalam skema normal menjadi minimal 15 jam durasi pelatihan.
Secara materi pun juga lebih kuat, lebih lengkap, dan lebih membekali para peserta Prakerja karena kita sangat fokus kepada upskilling dan reskilling.
Jumlah peserta pada skema semi bansos kota mengeksekusi 16,4 juta orang sedangkan pada skema normal satu tahun ini kita diberikan anggaran untuk 1 juta orang namun kita bisa melakukan optimalisasi hingga 1,2 juta orang.
Pelatihan tatap muka atau secara offline sudah kita mulai sejak Prakerja memasuki skema normal. Sejauh ini dilaksanakan di 14 provinsi dengan sarana dan prasarana yang memadai.
Lembaga pelatihan harus memenuhi standar baru, sedangkan yang sudah ada belum tentu semuanya bisa comply. Ada juga aturan pembayaran 30-70. Sebanyak 30 persen dibayarkan saat peserta Prakerja memulai pelatihan sedangkan 70 persen diberikan pasca peserta menyelesaikan pelatihan.
Kondisi itu berbeda dengan skema semi bansos karena saat ini semua dibayar secara langsung. Dengan demikian, lembaga pelatihan hanya akan mendapat 30 persen sedangkan sisanya akan tergantung peserta pelatihan. Mereka menanggung sebagian resiko dari ketidakselesaian pelatihan.
Seperti apa dampak dari pelaksanaan Skema Normal 2023? Apakah ada perbaikan dibanding semi bansos?
Kita melihat alhamdulillah bahwa hasil dari studi yang dilakukan Definit baik. Menariknya adalah memang peserta berubah karena dalam skema normal pelatihan berlangsung lebih lama maka secara rata-rata pendidikannya meningkat dibandingkan saat semi bansos.
Secara usia, cenderung lebih muda dibandingkan semi bansos karena yang kuat belajar 15 jam itu barangkali lebih anak-anak muda. Selain itu, menariknya lagi adalah dampak kewirausahaan. Meskipun ada namun tidak sekuat pada saat semi bansos.
Saat skema semi bansos mereka mendapat insentif sebesar Rp2,4 juta sehingga cukup untuk modal usaha. Namun dengan skema normal yang insentifnya Rp600 ribu itu terbatas, sehingga lebih membuat alumni Prakerja menjadi seorang karyawan atau pegawai dan bukan wirausaha
Kemudian kita juga menanyakan apakah durasinya cocok, apakah model pelatihannya cocok dan relevan, apakah insentif Rp600 ribu itu adequate. Itu semua jawabannya adalah iya.
Lalu kita sekaligus menanyakan insentifnya dipakai untuk apa. Menariknya, jawaban nomor satu itu adalah membeli sarana belajar. Sedangkan jawaban top kedua adalah membeli pelatihan tambahan.
Dengan studi rapid assessment dari Definit kepada program Prakerja ini kita happy. Bahkan hasilnya dari yang semula statusnya menganggur, lebih dari 20 persen alumni Prakerja skema normal sudah bekerja.
Secara rinci, hasil studi Definit menyebutkan sebanyak 95 persen penerima setuju bahwa Prakerja meningkatkan peluang mereka mendapatkan pekerjaan. Sebanyak 83 persen penerima menilai Prakerja meningkatkan keterampilan, kompetensi, dan produktivitas.
Definit juga mendapat tiga temuan lain yaitu 93 persen penerima mengaku besaran beasiswa pelatihan menarik, 87 persen penerima mengaku besaran insentif pascapelatihan menarik, dan 77 persen penerima memiliki preferensi latihan secara umum menggunakan moda online.
Selain Definit, Prakerja juga beberapa kali disurvei lembaga penelitian dan menunjukkan kinerja yang berdampak signifikan. Seperti apa independensi mereka?
Ada 15 lembaga yang mengevaluasi program Prakerja, mereka memilih sendiri sampelnya, memilih metodologinya sendiri, timing-nya berbeda-beda namun hasilnya memiliki benang merah yang sama. Dampak program Prakerja terhadap peserta yang itu mengembirakan.
Definit tadi misalnya. Mereka didanai Asian Development Bank (ADB) melakukan studi rapid assessment terhadap para penerima program Prakerja sejak tiga bulan pertama skema normal diberlakukan.
Kalau evaluasi didanai Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja nanti bisa tidak transparan sehingga semua evaluasi itu didanai oleh eksternal. Kemudian karena eksternal sehingga mereka independen, mereka menggunakan metodologinya sendiri.
Baru-baru ini Prakerja mengadakan temu alumni Ujung Indonesia dari Sabang , Rote, Merauke. Apa yang Anda temukan di sana? Seperti apa kondisi alumni di ujung Indonesia itu, apa ada cerita menarik?
Prakerja berkomitmen mendengar aspirasi masyarakat secara langsung. Lalu oleh-olehnya apa? Sebuah semangat. Dari susah payahnya kita menjalankan Prakerja ternyata program ini betul-betul menyentuh kulit masyarakat di wilayah terjauh Indonesia.
Itu vitamin dan penyemangat kita, bahwa apa yang kita lakukan ini bukan hal yang sia-sia. Mereka bisa mengakses langsung program tanpa ada perantara.
Kita mendengar secara langsung secara otentik cerita mereka yang lebih dalam dari yang diungkapkan survei evaluasi. Beyond evaluasi, kita tidak tahu apa yang terjadi atau apa perubahan terjadi pada mereka.
Di Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), saya bertemu dengan 85-87 peserta Prakerja dari generasi angkatan tahun 2020-2023. Mereka semua sudah bekerja dengan sebagian besar adalah buruh dan wirausaha.
Saya mendengar satu kisah dari satu alumni Prakerja bernama Noven yang dulunya adalah instruktur Bahasa Inggris di salah satu lembaga kursus terkenal di Kupang, NTT. Dia melatih bahasa Inggris di kelas anak-anak dengan jumlah yang terbatas.
Tiba-tiba Noven dirumahkan akibat pandemi. Kemudian ia mengambil pelatihan public speaking in english Prakerja pada 2020. Dari situ ia terbersit menawarkan jasa tutor bahasa Inggris secara online dari kampung halamannya yaitu Rote.
Noven pun sekarang melatih lebih dari seribu orang profesional yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dari dia. Penghasilannya pun kini mencapai empat kali lebih besar dibandingkan pekerjaan sebelumnya.
Tidak hanya itu, kita juga mendengar penuturan dari seorang perempuan yang bisa mengembangkan bisnis kue puding anak-anak khususnya acara ulang tahun. Dia mendapat order mencapai seribu kue puding dalam sebulan berkat mengikuti pelatihan di Prakerja.
Kita tahu bahwa partisipasi kerja perempuan itu masih rendah. Dengan Prakerja yang bisa diakses secara online membuat perempuan bisa belajar dari rumah dan bekerja dari rumah. Perempuan bisa berkontribusi buat kesejahteraan ekonomi. Itu yang saya dengar dari Rote.
Dari Sabang, Aceh, saya juga mendengar kisah alumni Prakerja bernama Miftahul Jannah. Dia mengambil pelatihan tata rias di Prakerja dan kini sudah memiliki lima karyawan. Miftahul sangat mengetahui potensi ekonomi yang bisa digali dari daerahnya.
Di Lubuklinggau, Sumatera Selatan, ada seorang alumni yang menemukan passion-nya setelah mengikuti Prakerja. Ia menjadi seorang florist. Perempuan tersebut belajar merangkai bunga dengan teknik Korea yang ia pelajari dari pelatihan Prakerja.
Ada juga yang mengikuti suami ke Lubuklinggau, dulunya dia lulusan terbaik jurusan ekonomi dari Universitas Sriwijaya. Setelah berhenti bekerja cukup lama pasca melahirkan hingga anaknya berumur cukup dewasa, perempuan ini ingin kembali bekerja.
Di sisi lain, ia mengaku kepalanya kosong dan merasa tidak percaya diri untuk kembali bekerja. Akhirnya dia mengambil pelatihan Prakerja, yang berkaitan dengan perkantoran hingga menjadi seorang staf administrasi di sebuah kantor.
Saya sudah mendengar banyak studi yang mengatakan perempuan biasanya kehilangan produktivitas dan confidence untuk kembali ke job market pasca dia melahirkan maupun menunggui anak sampai anak tersebut cukup bisa ditinggal.
Di sini Prakerja memberikan solusi bagi para perempuan agar bisa belajar apapun serta melatih skill-nya bahkan dari rumah, tidak perlu jauh-jauh harus ke kota.
Disamping dampak yang dirasakan secara nasional, bagaimana kontribusi Prakerja di tingkat global?
Ini mimpi saya, kalau kita ingin memiliki program yang bagus yang artinya sudah terbukti, buat orang tahu dan buat dunia tahu karena this is not just about the program.
Pertama adalah this is about Indonesia, our country. Saya ingin negara-negara lain tahu bahwa Pemerintah Indonesia itu punya inovasi dan program berskala besar memakai digital technology yang berhasil.
Kita ingin apa yang dikerjakan ini bisa dipelajari negara lain. Kalau dianggap bermanfaat, bisa diikuti negara lain. Sehingga kebermanfaatan itu tidak hanya berhenti di bumi Indonesia.
Negara berkembang banyak, mereka juga menghadapi problem yang sama seperti Indonesia. Pengangguran, over education underskill, lack of relevance, disruption, sama. Kenapa tidak berbagi kepada dunia. Ini adalah soal kemanusiaan.
Prakerja baru berani go international itu setelah ada hasil evaluasi dari J-PAL Southeast Asia dan Presisi Indonesia. Setelah itu, kita bisa tampil di Conference on Adult Learning Education (CONFINTEA) di Maroko.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto hadir secara virtual namun ada dua tim Prakerja yang datang. Saat Pak Menko menampilkan statistik dari impact evaluation itu, banyak sekali delegasi yang merapat ke dua tim saya.
Mereka berpikir angka hasil kinerja Prakerja sangat bagus dan jelas. Bahkan dinilai sebagai hasil yang konkret, bukan hanya sebuah program aspirasi. Dari situ kemudian negara-negara jadi tahu tentang Prakerja.
Tanggapan positif ini membuat kita menjadi lebih confident untuk sharing itu kepada dunia. Karena itu tim saya meminta waktu ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mempresentasikan kinerja Prakerja dalam SDG Summit. Kami ingin ada feedback bukan hanya sharing.
Dalam rangkaian SDG Summit terdapat SDG Action Weekend di mana hanya program-program yang terbukti secara konkret yang bisa tampil. Dari 70 proposal yang masuk hanya 21 proposal yang ditampilkan dan Prakerja menjadi salah satunya.
Kita juga tampil di annual meeting di Maroko dan di Asia-Pacific Social Protection Week (APSP) di Manila. Kita dipuji sebagai bagian dari social protection yang terbukti adaptif, efektif, efisien, dan inklusif. Itu semua kata-kata karakteristik yang baik dari sebuah program.
Bahkan Prakerja juga direplika beberapa negara seperti National Social Protection Council (NSPC) Kamboja yang melakukan studi banding ke kantor Prakerja pada Maret 2023. Kini Kamboja memiliki program adaptasi dari Prakerja yang dirilis pada November untuk 1,5 juta orang.
Prakerja juga turut menginspirasi lembaga bidang pendidikan Thailand yaitu The Equitable Education Fund (EEF) dalam mengembangkan program serupa di negara tersebut.
Kita siap membagi pengetahuan secara terbuka kepada mereka. Saya yakin dengan mereka akan melakukan adaptasi sesuai dengan konteks negara masing-masing.
Tapi itulah yang saya harapkan bahwa Indonesia bisa menjadi inspirasi dunia. Kita bisa berkontribusi dalam hal pemikiran, ide, dan solusi terhadap masalah pembangunan yang dihadapi negara-negara berkembang.
Pemilihan presiden sudah di depan mata, seperti apa harapan Anda terhadap presiden terpilih nanti terkait masa depan Prakerja?
Saya melihat dari kisah-kisah dari Sabang, Merauke, Rote, Sumba Barat, Sumba Timur, Nias, Mentawai, Aceh, Bengkulu, Ternate, Biak, Sintang tentang bagaimana Prakerja menyentuh mereka, mengangkat kehidupan mereka.
Saya pikir, apa yang dilakukan Prakerja dengan 17,5 juta orang tentu suatu hal yang tidak mudah. Tapi kembali, is it enough? Apakah learning harus berhenti? Bagaimana dengan yang sudah mendaftar tapi kemudian juga belum mendapatkan?
Menurut saya kalau kita percaya lifelong learning, maka negara perlu selalu hadir menyediakan pintu tersebut bagi orang yang selalu belajar. Kita ingin Prakerja juga bisa menawarkan pelatihan yang lebih fit dengan kelompok-kelompok yang lebih spesifik.
Banyak hal yang bisa dilakukan, tapi Prakerja sekarang memikirkan bagaimana membangun pondasi lebih kuat, mencari bentuk atau model yang works for our country.
Ke depan saya pikir fondasi itu perlu dibangun lebih lanjut supaya kemudian memberikan kebermanfaatan. Karena Indonesia maju salah satunya juga ditopang dengan sumber daya manusia yang mampu terus beradaptasi dengan kemajuan itu sendiri.
Kita ingin produktivitas SDM Indonesia naik. Itu adalah aspirasi kita bersama. Ujung-ujungnya produktivitas itu adalah kesejahteraan.
Kita ingin naik kelas bersama-sama. Kita punya mimpi bersama: Indonesia maju. Kalau seperti itu, maka mimpi Prakerja pastinya adalah diteruskan dan diperbesar bersama-sama dengan program-program pelatihan vokasi yang dilakukan Kementerian dan Lembaga lainnya.
Saya pikir Prakerja ke depan supaya bisa dilanjutkan dan memberikan kesempatan bagi masyarakat karena lifelong learning mestinya adalah mereka belajar tidak hanya sekali. Dan jangan lupa, Prakerja telah membuktikan kemampuannya untuk selalu responsif terhadap perubahan.
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2023