IDI saja meminta nilai iuran itu sebesar Rp60 ribu per orang sedangkan keputusan pemerintah jauh dari rekomendasi itu. Nilai iuran Rp19 ribu ini menunjukkan inkonsistensi pemerintah..."
Jakarta (ANTARA News) - Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) siap menempuh jalur hukum terkait hasil rapat pemerintah yang menetapkan besaran premi Penerima Bantuan Iuran (PBI) senilai Rp19 ribu per orang.
"KAJS menolak keputusan tersebut dan akan menempuh jalur hukum karena bertentangan dengan UUD 1945, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)," kata Sekretaris Jenderal KAJS Said Iqbal melalui pesan elektronik yang diterima di Jakarta, Senin.
Said mengatakan KAJS menuntut iuran PBI sebesar Rp22.500 bukan Rp19 ribu. Alasannya adalah kesehatan tidak boleh dikalahkan oleh argumen ketidakmampuan fiskal negara. Dengan kata lain, aspek fiskal janganlah dijadikan alasan untuk mengurangi besarnya PBI.
Dia membandingkan rekomendasi PBI dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan hasil rapat pemerintah tersebut.
"IDI saja meminta nilai iuran itu sebesar Rp60 ribu per orang sedangkan keputusan pemerintah jauh dari rekomendasi itu. Nilai iuran Rp19 ribu ini menunjukkan inkonsistensi pemerintah karena pada saat bersamaan pemerintah menetapkan kenaikan iuran jaminan kesehatan untuk buruh dan pengusaha sebesar 5 persen," kata Said yang juga presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Pihaknya merencanakan akan melakukan aksi besar-besaran agar pemerintah menjalankan jaminan kesehatan sesuai amanat konstitusi.
"Jumlah peserta PBI bukan 86,4 juta orang tetapi harus 156 juta orang yang berasal dari 96,7 juta orang miskin dan tidak mampu ditambah 45,5 juta orang peserta Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan sisanya yang lain," kata Said.
Dia mengatakan data tersebut berasal dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Kementerian Kesehatan. "Angka itu belum termasuk buruh berpenghasilan upah minimum yang belum termasuk PBI," katanya.
Menurutnya, peserta Jamkesda wajib diintegrasikan dalam peserta BPJS kesehatan serta tidak boleh terpisah karena akan melanggar prinsip menyeluruh. (*)
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013