"Yang melawan hukum di satu tempat mungkin saja di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat," kata Jimly.
Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya tentang uji materil UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyatakan penjelasan pasal 2 ayat 1 UU tersebut --yang berkaitan dengan frasa "secara melawan hukum"-- bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin Ketua MK Jimly Asshiddiqie, di Gedung MK, Jakarta, Selasa, MK menimbang konsep melawan hukum materil yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam masyarakat sebagai satu norma keadilan adalah ukuran yang tidak pasti dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya. "Sehingga, yang melawan hukum di satu tempat mungkin saja di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat," kata Jimly. Akibat putusan MK itu, maka penjelasan pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tipikor sepanjang frasa tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Frasa tersebut berbunyi: "yang dimaksud dengan `secara melawan hukum` dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana". Dengan demikian, perbuatan melawan hukum dalam tipikor hanya dapat diartikan sebagai melawan hukum secara formil karena bertentangan dengan suatu aturan perundang-undangan tertulis. MK menyatakan penjelasan kalimat pertama pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tipikor merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil seperti yang diatur dalam pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, menurut MK, mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, yang dalam hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas, sehingga merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum di mana seseorang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu perundang-undangan yang tertulis yang telah lebih dahulu ada. Penjelasan kalimat pertama dalam pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tipikor, menurut MK, telah melahirkan norma baru yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam UU secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Dengan penjelasan pasal itu, maka dengan hukum atau peraturan tidak tertulis, seperti rasa keadilan, norma kesusilaan, atau etik dan norma-norma moral yang berlaku di masyarakat telah cukup untuk menjadi kriteria satu perbuatan yang merupakan tindakan melawan hukum meskipun hanya dilihat secara materiil. "Oleh karena itu, apa yang patut dan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum," kata Jimly. Permohonan uji materiil diajukan oleh Karyawan PT Jasa Marga, Dawud Djatmiko, yang saat ini menjalani tahanan sejak 28 Juni 2005 dalam kasus dugaan korupsi pembangunan jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR). Dawud meminta uji materiil pasal 2 ayat 1, pasal 3, masing-masing beserta penjelasannya, serta pasal 15 sepanjang mengenai kata "percobaan" dalam UU Pemberantasan Tipikor karena dianggap bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Namun, MK hanya mengabulkan sebagian permohonannya mengenai frasa "secara melawan hukum" dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tipikor, sedangkan selebihnya ditolak. Dalam putusan MK itu, terdapat satu pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstitusi Laica Marzuki. Laica berpendapat, seharusnya seluruh penjelasan pasal 2 ayat 1, termasuk kata "dapat" dalam frasa "yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara", dinyatakan tidak mengikat secara hukum karena bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 UUD 1945.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006