Jakarta (ANTARA News) - Menristek Kusmayanto Kadiman mengatakan Pertamina dan PLN menjamin akan menyerap produksi biofuel berbasis tanaman yang diproduksi di dalam negeri, sehingga ada jaminan pasar bagi pengembangan biofuel. "Ada dua pembeli siaga yang besar, yaitu Pertamina untuk sektor transportasi dan PLN untuk sektor listrik," katanya di sela-sela seminar otomotif di Jakarta, Selasa. Ia mengatakan Pertamina dan PLN sudah mengatakan akan menyerap berapapun hasil produksi bahan bakar cair berbasis tanaman yang diproduksi di Indonesia. "Jaminan tidak harus bentuk tertulis, tapi kita tunjukkan ini loh konsumsi Indonesia, Pertamina dan PLN sebagai pelakunya," ujarnya menanggapi apakah ada jaminan tertulis dari kedua BUMN itu. Dikatakannya saat ini Pertamina baru menjual biofuel di 100 SPBU-nya bukan karena Pertamina tidak mau, tapi karena pasokan yang kurang. Kusmayanto juga mengatakan biofuel relatif lebih murah, terutama yang berbasis singkong dan jarak (jatropa), karena harganya tidak terpengaruh harga minyak dunia dibandingkan dengan biofuel berbasis CPO (minyak sawit mentah) dan tebu. Karena itu, kata dia, pemerintah akan fokus pengembangan biofuel terutama yang berbasis singkong dan jarak. "Saat ini pemerintah cq Deptan telah meluncurkan tiga jenis bibit jarak yang cocok untuk ditanam di lahan yang basah, kering, dan sedang," ujarnya. Kusmayanto mengatakan harga biofuel relatif akan lebih murah dibandingkan harga BBM yang terus meningkat. Ia mencontohkan harga biosolar Rp4.300 per liter tanpa subsidi saja sudah bisa menguntungkan distributor, produsen, dan petani. Lebih jauh ia menjelaskan pemerintah menargetkan pada 2010 biofuel mampu menggantikan sekitar 10 persen BBM untuk sektor transportasi dan 50 persen untuk BBM pembangkit listrik. Ia mengatakan untuk itu dibutuhkan dana sekitar Rp100 triliun yang akan diantaranya berasal dari APBN, serta pembiayaan lain baik investasi domestik maupun asing (FDI). "Bahkan tidak tertutup kemungkinaan kita menjajaki pembiayaan yang tidak konvensional yaitu Kyoto Protocol," katanya. Sesuai dengan Protocol Kyoto, katanya kalau Indonesia berpotensi mengurangi jumlah emisi, maka setiap peluang tersebut bisa dikonversikan dan negara-negara maju yang tidak mampu mengurangi emisinya bisa membiayai program tersebut. (*)

Copyright © ANTARA 2006