publik sebagai pemilik frekuensi bisa “menghukum” stasiun televisi yang mengumbar tayangan penuh sensasi dengan berhenti menontonnya.

JAKARTA (ANTARA) - Izin penyiaran stasiun televisi diberikan Pemerintah untuk menunaikan misi pelayanan informasi kepada publik. Dalam perkembangannya, pengelola program siaran televisi teramat leluasa melakukan improvisasi hingga banyak acara pribadi seperti perayaan ulang tahun, pesta pernikahan, atau kehidupan privat selebritas menjadi materi tayangan. Adanya perangkat regulasi tanpa penerapan sanksi, menjadikan pelanggaran berlangsung nyaman termasuk penggunaan spektrum frekuensi publik layaknya milik pribadi.

Bukan lagi menjadi pemandangan aneh ketika layar televisi menyiarkan acara resepsi pernikahan artis, proses kelahiran bayi atau pesta ulang tahun anak selebritas, serta berbagai kemeriahan hajatan pribadi yang tak semestinya menjadi materi program siaran stasiun televisi berskala nasional apalagi dalam format siaran langsung (live).

Lazimnya, siaran langsung digunakan untuk menyampaikan informasi penting yang memiliki nilai urgensi tinggi, ada unsur kegentingan, dan membutuhkan kesegeraan diketahui khalayak ramai. Jika acara pribadi disiarkan secara langsung, tak hanya menyalahi penggunaan spektrum umum tetapi juga menjatuhkan nilai eksklusivitas siaran langsung.

Rasa ingin terheran-heran tapi nyatanya sudah menjadi keseharian bahwa layar televisi masa kini makin serasa layar pribadi. Para pemilik stasiun, pemodal, pemasang iklan, dan pemain bisnis rumah produksi bisa mewarnai acara dan program televisi sesuai kehendaknya.

Padahal dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2012 telah mencantumkan ketentuan mengenai aturan menyiarkan muatan pribadi di televisi. Salah satu ketentuan yang tertulis adalah tidak menjadikan masalah pribadi sebagai materi yang ditampilkan dalam seluruh isi mata acara. Karena setiap program acara disyaratkan memiliki kemanfaatan siaran bagi publik.

Memang sebagian besar masyarakat rendah literasi menggemari acara-acara penuh sensasi yang menyorot kehidupan para selebritas. Selera tonton masyarakat itu yang menaikkan rating program dan mendatangkan banyak iklan sehingga penyelenggara siaran menangguk untung besar.

Bermula dari geliat media sosial yang memanen jutaan penonton untuk konten-konten bermuatan sisi pribadi para artis. Melihat fenomena itu stasiun televisi pun tampaknya tergiur untuk mengadopsi konten-konten serupa ke layar kaca guna meraih kesuksesan yang sama. Meski berhasil, ada hal yang dilupakan bahwa fungsi media massa dan media sosial tentu berbeda.

Bila akun medsos “bebas” mengunggah konten bernuansa pribadi, tidak demikian dengan media televisi yang dalam pengajuan izin penyelenggaraan siaran berstatus sewa frekuensi.

Penggunaan frekuensi publik untuk menyiarkan hal-hal yang tidak berfaedah membuat masyarakat dirugikan karena kehilangan salah satu fungsi media, yakni edukasi. Namun untuk menggugat penyalahgunaan frekuensi itu akan menjadi dilema karena pihak yang dirugikan --dalam hal ini masyarakat-- justru menikmatinya dengan senang hati.

Baca juga: Set top box atau TV digital?

Media pembujuk

Sebagai salah satu dari jenis media massa, siaran televisi berfungsi untuk memberi informasi, mendidik, menghibur, dan membujuk. Berbeda dengan jenis media massa lainnya, gaya saji televisi memiliki daya pikat tersendiri karena menampilkan informasi dalam bentuk audio dan gambar bergerak. Dengan keunggulannya itu televisi dinilai paling efektif sebagai media pembujuk untuk melancarkan suatu program sosialisasi isu-isu tertentu.

Begitu pun misi edukasi juga lebih mudah disajikan melalui tayangan layar datar yang sebagian besar terpajang di ruang keluarga masyarakat Indonesia. Tak masalah meminjam peristiwa yang dialami para selebritas untuk menarik perhatian pemirsa, namun bukan untuk mengulik dan mengulas aib pribadi mereka, melainkan mengajarkan bagaimana mengambil pelajaran dari setiap kejadian.

Semisal, pemberitaan mengenai kasus perceraian artis dapat diarahkan pada bagaimana cara memperjuangkan hak asuh anak, menjaga psikologi anak dari risiko keguncangan, mempertahankan pola asuh sehat dalam kondisi kedua orang tua tak lagi bersama, tips memulihkan luka batin pascaperceraian, dan pelajaran dari kesalahan memilih pasangan.

Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga jangan sampai terlalu berlebihan dalam pemberitaan tanpa esensi edukasi. Dalam kasus KDRT dapat diselipkan pesan untuk perempuan berani bersuara ketika menjadi korban, mencegah dan melindungi diri dari ancaman kekerasan, atau pelajaran bagaimana mengenali karakter seseorang yang berpotensi melakukan kekerasan dan lain sebagainya.

Intinya, menayangkan berita artis bukan sesuatu yang diharamkan akan tetapi bagaimana mengemasnya agar tetap memenuhi prinsip kebermanfaatan bagi masyarakat yang menontonnya. Dengan sedikit kreativitas berita hiburan bisa dialihkan dari unsur sensasi menjadi edukasi. Kepopuleran para selebritas justru dapat dimanfaatkan untuk sarana menyampaikan pesan-pesan moral di balik kejadian dan peristiwa yang mengemuka.

Baca juga: Mahfud: Pemerintah cabut ijin televisi swasta belum migrasi ke siaran digital

Unsur menghibur

Media televisi yang menyuguhkan program tayangan dalam bentuk video memang dituntut memiliki unsur menghibur yang kuat karena kehadirannya sebagai tontonan. Namun begitu, bukan berarti fungsi yang lain--utamanya mendidik-- boleh dikesampingkan. Semua fungsi televisi hendaknya dipenuhi dalam porsi keberimbangan.

Tanpa pengawasan ketat, peran televisi nyatanya makin condong pada tayangan hiburan berbasis sensasi yang miskin nilai dan guna. Sementara, pihak Pemerintah dengan semangat reformasi tampaknya tak ingin mengulang sikap otoriter zaman Orde Baru yang tak segan-segan melakukan pembredelan media. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menjalankan fungsi pengawasan program siaran televisi sejauh ini hanya sekadar memberi teguran atas tayangan yang dinilai melanggar ketentuan atau tidak layak tonton. Selebihnya melakukan evaluasi berkala terhadap kualitas program siaran.

Dari sini, sebenarnya KPI memiliki wewenang untuk mengusulkan pencabutan izin siaran kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) jika stasiun televisi dirasa tidak mengindahkan teguran dan terus-menerus melakukan pelanggaran. Akan tetapi KPI belum sampai mengambil tindakan sekeras itu.

Pembiaran tidak akan membuat para pengelola stasiun televisi menyadari kealpaannya. Itulah sebabnya tayangan-tayangan tanpa nilai keberfaedahan masih kita saksikan hingga hari ini. Akan tetapi semua pihak (pemilik stasiun, pebisnis rumah produksi, selebritas, dan penonton) menikmati gemerlap kesuksesan program hiburan semacam itu.

Para pesohor dunia hiburan yang menjadi komoditas pemberitaan, umumnya juga tak keberatan kehidupan pribadi berikut anggota keluarga termasuk anak-anaknya menjadi bahan ulasan. Karena pekerja panggung hiburan berkepentingan selalu menjaga eksistensinya.

Berbeda dengan selebritas mancanegara yang umumnya menyembunyikan bayi dan anak-anak balitanya dari sorotan kamera media demi melindungi privasi buah hatinya, di Indonesia justru mereka sengaja dipamer-pamerkan. Bahkan para bayi dan anak artis dijadikan bahan konten, dan telah dieksploitasi kamera sejak proses kelahirannya ke dunia.

Kemudian komodifikasi terhadap bocah-bocah itu terus berlanjut nyaris saban hari dengan mengekspos setiap perkembangan kecil yang dialami hingga perayaan ulang tahun dengan pesta mewahnya. Semarak komersialisasi buah hati akhirnya menjadi semacam ajang perlombaan di kalangan artis yang malah diakomodasi ke dalam tayangan televisi. Dan pemirsa merasa terhibur dengan aksi menggemaskan para bayi dan anak-anak yang sudah menjadi selebritas sejak dini.

Bila para pihak merasa senang dengan tayangan menyimpang itu, masih tersediakah cara untuk kembali ke jalan yang benar?

Adalah tugas Pemerintah untuk menegakkan aturan, KPI memperketat pengawasan, berbagai organisasi kewartawanan tidak bosan mengingatkan fungsi media massa (televisi) sembari memperbaiki tingkat literasi publik, begitu juga para praktisi dan akademisi bidang penyiaran turut membangun kesadaran tentang pentingnya menikmati siaran sehat dan informasi bergizi.

Sementara, publik sebagai pemilik frekuensi bisa “menghukum” stasiun televisi yang mengumbar tayangan penuh sensasi dengan meninggalkan dan berhenti menontonnya. Karena sebuah program tayangan akan mati ketika tak ada yang menonton. Saatnya melindungi keluarga dari pajanan tayangan rendah faedah.

Baca juga: Indonesia bersiaran digital penuh diharapkan terealisasi pada HUT RI

Baca juga: KPI: 16 program televisi masih melanggar aturan siaran Ramadhan

Baca juga: KPI: Televisi harus selektif pilih muatan program dari konten viral

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023