Indeks harga saham NYSE (bursa efek New York) juga mengalami rally akhir-akhir ini. Akibatnya USD menguat, atau sebaliknya rupiah melemah.
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Toni A Prasetiantono mengatakan, kendati Bank Indonesia telah menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI rate) sebesar 50 basis poin dari 6 persen menjadi 6,5 persen, nilai tukar rupiah dinilai masih tetap mengalami pelemahan.
"Meski BI rate sudah naik, rupiah tetap melemah ke Rp10.036 per dolar AS. Ada dua kemungkinan analisis," ujar Toni saat dihubungi, di Jakarta, Selasa.
Menurut Toni, secara objektif fundamental, pelemahan rupiah memang sedang mengikuti tren global di mana semua mata uang di seluruh dunia melemah terhadap dolar AS disebabkan ada tanda-tanda kuat perekonomian AS membaik.
"Indeks harga saham NYSE (bursa efek New York) juga mengalami rally akhir-akhir ini. Akibatnya USD menguat, atau sebaliknya rupiah melemah," ujar Toni.
Selain itu, lanjut Toni, pelemahan nilai tukar rupiah juga disebabkan kinerja ekonomi Indonesia yang harus diakui juga mengalami perlambatan.
"Kita tidak sendiri, karena China juga mengalami perlambatan. Pertumbuhan ekonomi mereka di Q2 (triwulan II) hanya 7,4 persen. Akhir 2013 China diperkirakan hanya tumbuh 7,5 persen," katanya.
Toni mengatakan, perlambatan ekonomi global tersebut berdampak ke daya serap terhadap produk-produk Indonesia anjlok, sehingga defisit perdagangan Indonesia membesar.
Jika pada 2012 lalu defisit neraca perdagangan Indonesia sebesar 1,6 miliar dolar AS (Rp16 triliun), pada akhir 2013 mendatang diperkirakan akan meningkat menjadi 4 miliar dolar AS (Rp4 triliun), dan dinilai dapat menguras cadangan devisa, ujar Toni.
"Jujur saja, merosotnya cadangan devisa 7 miliar dolar AS dalam sebulan (pada Juni 2013 lalu) menyebabkan pasar uang cukup nervous, sehingga para pemilik dana makin gencar memburu dolar AS," kata Toni.
(C005)
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013