Jakarta (ANTARA) - Institute for Essential Services Reform (IESR) mengharapkan Konferensi Tingkat Tinggi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (Conference of the Parties/COP-28) dapat memperkuat komitmen semua negara, termasuk Indonesia memangkas emisi gas rumah kaca (GRK) di 2030.
IESR mencatat sebagaimana hasil Global Stocktake, janji dan realisasi penurunan emisi masih jauh untuk mencapai target dari persetujuan. Untuk itu, pasca-COP-28 semua negara perlu meninjau kembali nationally determined contribution (NDC)-nya serta membuat target mitigasi krisis iklim yang lebih ambisius.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa di Jakarta, Senin mengatakan Indonesia perlu menyampaikan target penurunan emisi yang lebih ambisius dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim dalam Second NDC (SNDC) yang rencananya akan disampaikan 2025.
"Agar selaras dengan target 1,5°C, tingkat emisi pada 2030 harus maksimal 850 juta ton untuk seluruh sektor. Sementara itu, di sektor kelistrikan, transisi energi ditandai dengan target 44 persen bauran energi terbarukan di 2030. Meskipun target bauran energi terbarukan tersebut tercapai, belum dapat membuat emisi sektor kelistrikan mencapai level di bawah 200 juta ton CO2, sesuai dengan jalur 1,5 derajat Celcius," ujar Fabby.
Untuk itu, kata dia, selain penambahan energi terbarukan, masih diperlukan pengakhiran operasi PLTU 8 sampai 9 GW sebelum 2030 untuk menurunkan emisi pada level tersebut.
IESR memandang investasi yang besar untuk bertransisi energi perlu didukung dengan kebijakan yang mendukung. Indonesia dapat mengeluarkan kebijakan dan komitmen yang lebih ambisius dengan semakin sempitnya waktu untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius sesuai Persetujuan Paris.
Berdasarkan laporan diskusi Inventarisasi Global atau Global Stocktake UNFCCC pada 2023, komitmen negara-negara di dunia yang tercantum pada NDC-nya tidak sejalan dengan Persetujuan Paris. Hal itu akan menyulitkan upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global sebesar 43 persen di 2030 dari tingkat emisi 2010 dan 60 persen di 2035 dan nir emisi pada 2050.
Tidak hanya itu, dengan target NDC yang disampaikan pada COP-27, suhu bumi pada 2050 diperkirakan melampaui target Persetujuan Paris.
Adapun pada 2025, Indonesia perlu meningkatkan ambisinya dalam enhanced NDC yang saat ini hanya membidik target penurunan emisi sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri (unconditional) dan 43,2 persen dengan bantuan internasional (conditional) pada 2030. Target tersebut dibuat dengan membandingkan proyeksi business as usual (BAU) 2010.
Sementara, IESR dengan menggunakan proyeksi dari data emisi pada 2020 menemukan bahwa Indonesia dapat menetapkan target ambisi iklim tanpa syarat (unconditional NDC) sebesar 26 persen hingga 2030.
Peningkatan target ambisi ini lebih tinggi dari target saat ini dan bertujuan agar Pemerintah Indonesia dapat tetap menetapkan target ambisi iklim yang lebih relevan untuk sejalan dengan target Persetujuan Paris agar pemanasan global tidak melebihi 1,5 derajat Celcius.
Baca juga: Presiden Jokowi tiba di Dubai untuk konferensi iklim COP28
Sementara, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR Wira A. Swadana menyatakan banyak peluang yang Indonesia dapat lakukan agar meningkatkan pencapaian target bauran energi terbarukan yang sejalan dengan Persetujuan Paris.
Misalnya, kata dia, dengan menyesuaikan penyusunan SNDC dengan prinsip-prinsip NDC dalam Article 4 Line 13 dari Persetujuan Paris, yakni mempromosikan integritas lingkungan hidup, transparansi, akurasi, keutuhan, keterbandingan, konsistensi, dan memastikan terhindar penghitungan ganda.
Berikutnya, menggunakan metode-metode yang layak untuk mencapai upaya dekarbonisasi, dan mempercepat dekarbonisasi ke luar dari penggunaan bahan bakar fosil.
Ia mengatakan Indonesia perlu menarik dukungan internasional, berkolaborasi dalam teknologi dan pengetahuan untuk mendorong pengembangan energi terbarukan agar dapat menerapkan temuan-temuan kunci dari Technical Dialogue of the first GST, khususnya di bidang mitigasi iklim.
Utamanya, pada COP-28 juga didorong untuk meningkatkan target energi terbarukan tiga kali lipat lebih besar atau setara 11 terawatt (TW) pada 2030.
Menurutnya, Indonesia dapat berkolaborasi dan memperkuat kerja sama dengan Uni Emirat Arab (UAE). Terlebih, Masdar perusahaan asal UEA telah terlibat dalam pembangunan PLTS Terapung Cirata dan berinvestasi di sektor energi panas bumi seiring dengan statusnya sebagai investor strategis dalam penawaran umum perdana saham atau IPO PT Pertamina Geothermal Tbk. (PGEO) pada Februari 2023.
Baca juga: OIKN: Upaya restorasi hutan di IKN diapresiasi komunitas internasional
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023