Mohammad Rahim (46) berkeliling mengayuh sepeda tuanya di jalanan perbukitan yang koyak di Afghanistan.
Setelah 10 tahun menjalankan tugasnya, ia tidak pernah gentar mengantarkan surat ke alamat yang paling tidak jelas sekalipun.
"Ini kami menerima sepucuk surat untuk seorang pria yang tinggal di dekat rumah dokter Hasmat," kata Rahim.
"Saya tidak tahu alamatnya, jadi mari kita lihat, bagaimana kita bisa menemukan alamat ini," lanjut dia.
Petunjuk Rahim hanya nama penerima Mohammad Naeem, nama dokter dan petunjuk di balik amplop yang mengatakan "Puncak bukit Kart-e-Sakhi, di belakang gedung Kementerian Pertanian."
Mengenakan topi bulu warna hitam, celana jin biru dan kaos warna ungu, serta potongannya yang khas, menjadikan dia sosok yang sering dikenali warga Kabul.
Ia mengawalinya dari lingkungan kantor pos terdekat dengan alamat tujuan dan mulai bertanya pada orang-orang.
"Bung, bisakah memberitahu saya di mana rumah dokter Hasmat?" teriak Rahim kepada seorang penjaga toko.
"Naik ke atas bukit dan belok kanan," jawabnya, maka Rahim pun memasuki jalanan berbatu.
Setelah lebih jauh, seorang pria mengatakan kepadanya: "Belok kanan, rumah ke tiga di sebelah kiri."
Setelah lama menunggu di luar gerbang, seorang perempuan berumur 40-an keluar. Istri Mohammad Naeem, yang menerima surat bagi suaminya.
"Kami mendapat surat dari Amerika, Kanada, Jerman dan Pakistan dan tukang pos selalu mengirimkannya tepat waktu," katanya.
Rahim mengirim puluhan surat setiap hari, melintasi barat dan barat daya Kabul, kota yang sudah berubah menjadi reruntuhan setelah perang saudara brutal tahun 1992-1996.
Penduduk Kabul melonjak menjadi lima juta ketika banyak orang membanjiri kota untuk mencari pekerjaan dan melarikan diri dari peperangan melawan Taliban, membuat banyak rumah dan gubuk dibangun di tanah sengketa tanpa izin.
Namun hari-hari yang membingungkan mengenai pencarian alamat akan segera berakhir, setelah bulan lalu Kementerian Komunikasi menandatangani kesepakatan dengan pemerintah kota untuk menciptakan sistem alamat yang baru.
Seluruh jalan dan rumah akan diberi kode, nomor rumah dan dipetakan dalam proyek dua tahun yang oleh pemerintah diharapkan dapat meluas ke kota-kota lain.
Skema yang akan menggunakan penelusuran GPS itu akan membantu Rahim dan rekan-rekan sesama tukang pos seperti Khan Agha (42), yang bekerja di kantor pos pusat di daerah Shar-e-Naw.
Bagi Agha, yang pertama kali mengirim surat 22 tahun lalu, peta alamat yang kacau menjadikan tugasnya sebagai "pekerjaan tersulit di dunia".
"Kami tidak peduli dengan kondisi lalu lintas, musim panas atau dingin, berkabut atau hujan, tetapi banyak sekali alamat tidak jelas, meskipun nomor telepon di sampul surat sangat membantu," katanya.
"Kami menelepon dan mereka menjawab 'Saya berdiri di sini' lalu kami pergi dan menyerahkan suratnya."
"Saya berusaha melakukan yang terbaik untuk melayani orang. Kami melihat di televisi, tukang pos di luar negeri dihargai karena menghubungkan pengirim dan penerima surat.".
Pekerjaan itu lebih menantang bagi Agha, yang kehilangan mata kanan ketika bertugas sebagai tentara 20 tahun lalu, salah satu korban pertikaian yang puluhan tahun melanda Afghanistan.
"Saya tertembak di belakang kepala dan pelurunya menembus keluar di mata kanan saya," katanya.
Mengaku bahwa luka itu masih terus menyulitkannya, Agha mengaduk tumpukan surat di lantai kantor pos untuk mencari surat-surat yang harus dikirim di lingkungan tersebut.
"Kami akan mengantar surat untuk Ny. Barbara di Sherpoor, sepucuk surat yang dikirim dari Jerman," katanya.
Kerapkali ada surat yang hanya mencantumkan nama wilayah tanpa nama jalan dan nomor rumah.
Setelah berkeliling hampir dua jam mencari alamat dengan bertanya pada lebih dari 12 orang berbeda, termasuk tukang roti, ia menemukan jalan sempit menuju penerima surat, seorang pegawai kesehatan.
Pekerjaan keras semacam itu tidak mendapat imbalan pantas di Afghanistan, yang memiliki 900 tukang pos di seluruh negeri dan 100 di antaranya di Kabul.
Agha hanya menerima sekitar 5.000 Afghani atau 90 dolar per bulan, jauh dari cukup untuk memberi makan delapan anggota keluarganya.
Namun ia berharap dalam waktu dekat semua jalan di Kabul sudah memiliki nama dan nomer.
"Ini adalah langkah baik kementerian untuk menciptakan sistem. Ketika proyek selesai, kami bisa lebih mudah melakukan pekerjaan," katanya.
Penerjemah: Maria D. Andriana
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013