Darwin (ANTARA News) - Angin laut Darwin, ibukota Negara Bagian Northern Territory (NT), Australia, berhembus sepoi-sepoi, Sabtu siang (22/7) itu. Awak puluhan perahu layar fiber glass dari 15 negara yang umumnya para penjelajah dunia, sailor (pelayar), dan penulis lepas, tampak mengangkat jangkar perahunya untuk bersiap meninggalkan perairan NT menuju Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tepat Pukul 11.00 waktu Darwin, satu per satu perahu layar itu merentangkan layar dan bergerak membelah ombak laut berwarna hijau kebiruan setelah para awaknya mendengarkan dua kali bunyi letusan senapan dan kibaran bendera sebagai tanda flag off "Sail Indonesia" (SI) 2006. Hampir setiap perahu layar yang dilengkapi perangkat navigasi canggih yang dapat menghubungkan para awaknya dengan siapapun dan dari belahan bumi manapun itu melintasi "Anniki" A-98, kapal layar bertiang dua yang menjadi basis acara flag off SI 2006, mereka disambut dengan ucapan "selamat jalan" oleh orang-orang yang berada di geladak "Anniki". "Bye...bye Muscat ... Bye...bye Calypto JJ. Have a good trip!" Ucapan dan lambaian tangan "selamat jalan" itu berulang kali diberikan beberapa pencinta olahraga layar dan bahari asal Darwin yang ikut di atas Kapal Layar "Anniki" untuk memeriahkan acara penglepasan para peserta SI 2006 yang akan melintasi delapan kota dan desa pesisir Indonesia Timur itu. Lambaian tangan "selamat jalan" juga datang dari Pejabat Konsul RI Darwin, Maimunah Vera Syafik dan sejumlah pejabat Konsulat RI (KRI) Darwin yang ikut di atas Kapal Layar "Anniki" yang bertolak dari Dermaga "Cullen Bay". Di antara para pejabat KRI yang ikut adalah Sekretaris I, Teguh Wiweko, dan Sekretaris III, Ernest Soeprapto Hadinoto. Selain mereka, ikut pula Ketua Dewan Pengurus Yayasana Cinta Bahari Indonesia (YCBI), Raymond T Lesmana, dan Direktur Produk Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Pardomuan Siregar. Satu per satu perahu layar fiber glass yang umumnya berwarna dasar putih meninggalkan "Anniki". Yang tampak dari kejauhan hanyalah deretan belakang perahu dengan bentangan layar yang terikat erat di satu atau dua tiang kokoh di atas geladak perahu seharga Rp2 miliar itu. Perahu-perahu layar yang ikut memiliki nama yang terdengar "unik". Selain "Muscat" dan "Calypto JJ", ada di antara perahu itu bernama "Trillium", "Silver Fern", "Sarabande-London", "Balvenie", "Ventana", "Utiekah III", dan "This Way Up". Ketua Panitia SI 2006 di Darwin, David Goodhouse, mengatakan, keikutsertaan 100 perahu layar dalam reli ini merupakan yang terbesar di Asia. "Dengan jumlah peserta sebanyak itu, SI 2006 boleh dikatakan sukses namun kami berharap Pemerintah dan seluruh pihak terkait di Indonesia dapat bekerjasama lebih baik dan lebih efektif lagi tahun depan," katanya. Mengenai perahu peserta yang ikut acara flag off di Darwin, David mengatakan, mereka langsung bertolak ke Kupang. Sebelumnya, Ketua Dewan Pengurus YCBI, Raymond T.Lesmana, mengatakan, kegiatan SI 2006 sudah pula menjadi bagian dari kalender kegiatan reli pelayaran internasional. Reli pelayaran ini tidak dimaksudkan untuk merebut kejuaraan melainkan sepenuhnya merupakan pelayaran wisata dimana para peserta tidak berkejaran dengan waktu tempuh. "Tapi kita membawa seratus perahu layar yang bernilai total Rp200 miliar ke kota dan desa pesisir timur Indonesia". Setelah mengunjungi Kupang, para peserta yang berasal dari negara-negara seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Selandia Baru, Norwegia, Hongkong (China), Swedia, Swiss, Belanda, Belgia, dan Vanuatu itu melanjutkan pelayarannya ke Alor, Lembata, Riung, Makassar, Bali, Karimun Jawa, dan Kumai (Kalimantan Selatan), katanya. Dari Kumai, para peserta langsung keluar perairan Indonesia melalui Pulau Batam menuju Singapura dan Langkawi (Malaysia). "Sayangnya tidak ada perahu layar Indonesia yang ikut. Walaupun ada perahu layar bernama `Merpati Putih`, perahu itu milik orang asing," kata Raymond. Kendati demikian, acara yang sudah masuk kalender reli layar internasional setiap minggu ketiga Juli itu berdampak positif bagi upaya Indonesia memajukan sektor pariwisata, potensi daerah, perluasan informasi tentang masyarakat pesisir, dan olahraga bahari. "Yang tak kalah pentingnya adalah rute pelayaran itu sendiri diharapkan dapat diangkat menjadi destinasi yang selama ini aksesabilitasnya sulit. Kita juga ingin anak-anak Indonesia kembali mencintai kebaharian dan mengetahui bahwa tetap ada orang menggunakan perahu layar bukan hanya perahu bermesin," katanya. Menurut Raymon, setiap tiba di rute pelayaran ini, semua awak perahu layar peserta akan disambut kepala pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Tahun lalu, justru sambutan masyarakat Desa Saambinasi, Riung -- daerah di timur Indonesia yang terkenal dengan Riung 17 Pulau dan taman lautnya yang indah -- dinilai peserta SI 2005 sebagai "yang paling berkesan". Ketika itu, rakyat desa mulai dari orangtua hingga anak-anak menyambut para peserta SI 2005 dengan senyuman yang tulus. Di desa yang seluruh penduduknya beragama Islam itu, para peserta hanya disuguhkan "ikan bakar dengan garam" saja. Namun sambutann yang spontan dan tulus justru mampu menyentuh hati banyak awak perahu layar asing yang mengikuti SI 2005. Bahkan, banyak di antara mereka menitikkan air mata saat mereka harus meninggalkan desa pesisir itu, kata Raymond. Pada SI 2006, gubernur dan kepala daerah tingkat dua serta masyarakat yang kota atau desanya masuk dalam rute SI sudah menyiapkan berbagai acara penyambutan dan kegiatan festival budaya yang menarik bagi para "tamu" mereka. Dalam kesempatan itu, para kepala daerah dapat memperkenalkan potensi investasi dan industri pariwisata di daerah mereka masing-masing, katanya. "Jadi kegiatan SI ini sangat positif bagi daerah-daerah dan bisa pula menjadi penggerak potensi pariwisata dan olahraga bahari di Tanah Air," katanya. Sebelum menjadi SI, event sejenis sudah mulai dirintis sejak tahun 1973 melalui kegiatan pelayaran Darwin-Ambon namun selalu kandas akibat berbagai masalah, kata Raymond. Hanya saja, waktu yang diberikan pemerintah Indonesia kepada para peserta selama tiga bulan dirasakan tidak cukup untuk dapat mengenal berbagai keunikan dan keindahan kepulauan Nusantara yang begitu luas. Kendala lain bagi peserta adalah keharusan mendapatkan clearance and approval for Indonesia territory (kejelasan dan persetujuan untuk berlayar di perairan Indonesia) yang prosesnya tidak selalu cepat, katanya. "Padahal, menurut para peserta SI, mereka memerlukan sedikitnya satu tahun untuk dapat menikmati pelayaran di perairan dan pulau-pulau Indonesia," katanya. Untuk itu, kebijakan pengurusan izin satu atap untuk memangkas birokrasi yang berbelit-belit perlu dilakukan sehingga pelayanan yang lebih efektif bagi para peserta SI dapat diberikan. Hal lain yang sudah saatnya ditangani pemerintah bersama masyarakat adalah perlunya tata ruang penempatan labuh kapal layar yang aman dan memenuhi standar internasional. Hingga kini, daerah umumnya belum memiliki tata ruang penempatan labuh kapal layar yang benar, terlebih lagi konsep "marina", katanya. "Terlepas dari itu, kita bisa membuat konsep `marina` walaupun masih alami dengan memperhatikan berbagai aspek, seperti letak geografis dimana perahu layar terlindungi dari terpaan angin keras, strata bawah laut yang memadai." Strata laut yang memadai itu, menurut Raymond, adalah jika "marina alami" itu tidak termasuk taman laut dan tidak pula lumpur, dengan kedalaman minimal lima meter. Kedalaman sedikitnya lima meter itu penting mengingat di bawah perahu/kapal layar, selalu ada Keel atau perangkat penyeimbang dan pengarah perahu. Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam membuat tata ruang penempatan labuh kapal/perahu layar yang benar adalah pemilihan lokasi pesisir yang landai, terbuka dan tidak berbatu, serta tempatnya relatif bersih, aman dan nyaman. "Diperlukan pula suplai bahan pokok, seperti bahan bakar minyak, air bersih, utiliti, dan sarana pendukung aksesabiliti yang memadai sehingga para awak perahu layar mudah bepergian ke kota untuk pelesiran atau memenuhi keperluan mereka yang lain," katanya. Setelah semua itu dilakukan, masyarakat pun perlu disiapkan untuk menyambut kedatangan para awak kapal/perahu layar mancanegara itu mengingat kapal/perahu layar sudah merupakan "gaya hidup" yang mungkin sangat berbeda dengan kebiasaan masyarakat Indonesia umumnya, ujar putra asli Lebak, Banten itu. "Masyarakat kita pun perlu bersiap diri menerima kedatangan mereka supaya mereka lebih betah di daerah yang mereka singgahi," katanya. Masa depan "Sail Indonesia" 2006 berada di tangan pemerintah dan siapa saja yang mencintai kebaharian dan memimpikan "di laut kita jaya" menjadi kenyataan, katanya.(*)
Oleh Oleh Rahmad Nasution
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006