Ya `teng-tengan` kan memang khasnya bulan Ramadhan. Kalau dulu, digunakan untuk penerangan saat berangkat shalat tarawih atau takbiran,"Semarang (ANTARA News) - Perajin "teng-tengan", sejenis lampion terbuat dari kertas yang bisa menampilkan bayangan berbagai binatang, kendaraan, dan tokoh pewayangan mengais rezeki setiap Ramadhan.
"Ya `teng-tengan` kan memang khasnya bulan Ramadhan. Kalau dulu, digunakan untuk penerangan saat berangkat shalat tarawih atau takbiran," kata seorang perajin "teng-tengan", Slamet Riyadi (33), di Semarang, Jumat.
Warga berasal dari Kampung Purwosari, Perbalan, Semarang itu mengakui saat ini "teng-tengan" hanya digunakan sebagai hiasan atau mainan anak-anak, saat ramai-ramai membangunkan orang sahur atau digantung di depan rumah.
Meski kian sedikit peminatnya dari tahun ke tahun, kata dia, uang yang didapatnya dari berbisnis "teng-tengan" selama Ramadhan tetap lumayan. Harga setiap lampion "teng-tengan" ditawarkan Rp10.000-Rp15.000.
"Pada Ramadhan tahun lalu, saya sanggup membuat sampai 1.500 buah `teng-tengan` dan sudah habis semua. Bisa dihitung omzetnya kalau satu lampion seharga Rp15 ribu," kata Slamet yang saat ini menetap di Kabupaten Demak itu.
Pria yang sehari-hari bekerja menyewakan akuarium air laut ke sejumlah instansi itu, rela harus bolak-balik Demak-Semarang untuk meneruskan bisnis warisan ayahnya sejak beberapa puluh tahun lalu tersebut.
"Dulu, ayah saya yang menekuni bisnis `teng-tengan`. Sejak tiga tahun lalu, saya yang menggantikan membuat `teng-tengan` dibantu tiga orang warga sini (Perbalan Semarang, red.)," kata bapak tiga anak tersebut.
Slamet mengaku pada Ramadhan 1434 Hijriah, permintaan "teng-tengan" buatannya meningkat dibandingkan dengan tahun lalu, terutama dari para pedagang luar kota yang memborong "teng-tengan" untuk dijual kembali secara eceran.
"Tahun ini, saya belum tahu akan membuat berapa `teng-tengan`, tetapi kemungkinan sama seperti tahun lalu. Belum ditambah pesanan. Sudah ada orang dari Ambarawa ingin memesan. Mudah-mudahan jadi," katanya.
Sesepuh warga Kampung Purwosari, Perbalan, Semarang, Tunut Shofani, mengaku kawasan tersebut memang dikenal sebagai sentra pembuat lampion "teng-tengan" sejak relatif lama, yakni sekitar 1940.
"Dulu, kawasan ini kan masih rawa-rawa, masih gelap. Banyak orang yang memanfaatkan `teng-tengan` untuk penerangan, terutama saat mau tarawih. Namanya dulu bukan `teng-tengan`, tetapi `dian kurung`," katanya.
Lambat laun, kata dia, istilah "dian kurung" mulai berubah menjadi "teng-tengan" yang bertahan hingga saat ini. Biasanya, masyarakat kawasan itu membuat kerajinan "teng-tengan" saat Ramadhan.
"Dulu, masih banyak warga sini yang membuat `teng-tengan`. Sekarang paling tinggal beberapa, ada Slamet yang meneruskan usaha ayahnya, kemudian satu lagi Junarso. Memang biasanya saat Ramadhan," kata Tunut.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013