Jakarta (ANTARA News) - Nilai tambah per tenaga kerja sektor industri manufaktur Indonesia terus mengalami penurunan, padahal negara-negara ASEAN lainnya telah kembali menanjak dan melampaui keadaan sebelum krisis 1997. "Nilai tambah setiap tenaga kerja kita yang turun terus itu mencerminkan kemampuan teknikal yang lebih banyak untuk menghasilkan teknologi rendah dari pada teknologi tinggi," kata Kepala Pusat Penelitian Pengembangan Iptek LIPI, Prof Dr Erman Aminullah, di Jakarta, Sabtu. Sebenarnya, urainya, sebelum krisis 1997 nilai tambah setiap tenaga kerja di Indonesia masih di atas China dan Filipina, meski di bawah Malaysia, Thailand dan India. Tetapi ketika terjadi krisis 1997 di mana Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan juga Korea Selatan semua mengalami penurunan drastis atas nilai tambah per tenaga-kerjanya, Indonesia menurun dengan pasti, sementara Filipina segera bangkit dan China tak mengalami krisis hingga keduanya melampaui nilai tambah per tenaga kerja Indonesia. "Ketika krisis Indonesia punya nilai tambah per tenaga kerja paling rendah. Sayangnya, pada 2003 ketika semua negara tetangga sudah berhasil meningkatkan kembali nilai tambahnya melampaui keadaan sebelum krisis, Indonesia malahan terus mengalami penurunan," katanya. Bahkan, lanjutnya, Korea Selatan bersama China dan India dapat memelihara peningkatan nilai tambah per tenaga kerjanya secara berkelanjutan, sementara Malaysia cepat sekali pulih dari krisis. Thailand, Filipina dan Indonesia lebih rentan terhadap gejolak ekonomi karena kemampuan teknikal yang rendah, di samping rendahnya penguasaan pengetahuan, rendahnya pembentukan modal intelektual dan minimnya kemampuan pengelolaan kebijakan teknologi, ujarnya. Erman juga mengatakan jika Indonesia tak ingin terus terpuruk, perlu ada strategi baru bagi peningkatan daya saing di masa depan. Antara lain, lanjutnya, adanya interkoneksi antara empat pelaku investasi teknologi, yakni lembaga litbang, universitas, pemerintah dan dunia usaha yang dihubungkan dalam suatu tatanan kelembagaan terpadu. "Kerja sama itu misalnya peneliti usaha bisnis melakukan riset bersama lembaga litbang atau universitas yang mengandalkan pengetahuan ilmu dasar tetapi memiliki relevansi bisnis untuk penerapan," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2006