Kenaikan BI rate yang dimaksudkan untuk mempertahankan nilai tukar rupiah dan menyikapi lonjakan inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) BBM ini tentu akan memiliki dampak yang begitu besar dan panjang bagi perekonomian nasional,"Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta mengingatkan kenaikan bunga acuan Bank Indonesia sebesar 75 basis poin akan berdampak besar dan panjang bagi perekonomian nasional khususnya terkait investasi dan sektor riil.
"Kenaikan BI rate yang dimaksudkan untuk mempertahankan nilai tukar rupiah dan menyikapi lonjakan inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) BBM ini tentu akan memiliki dampak yang begitu besar dan panjang bagi perekonomian nasional," kata Arif Budimanta di Jakarta, Jumat.
BI melalui Rapat Dewan Gubernur pada Kamis (11/7) memutuskan kembali menaikkan bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 6,50 persen. Total kenaikan bunga acuan BI itu menjadi sebesar sebesar 75 bps apabila ditambahkan kenaikan yang diputuskan pada 13 Juni 2013 dari 5,75 persen menjadi 6,00 persen.
Budimanta mengingatkan bahwa dalam ekonomi ada yang disebut dengan asimetris, termasuk dalam hal turun naiknya suku bunga acuan.
Jika BI menaikan suku bunga acuan (BI rate) maka seketika perbankan akan segera menaikkan suku bunga kreditnya, tetapi apabila kondisi telah stabil dan BI menurunkan kembali suku bunganya maka perbankan tidak akan langsung menurunkan suku bunga kreditnya.
"Ada proses `wait and see` yang cukup panjang sehingga akan merugikan perekonomian nasional khususnya sektor riil," katanya.
Menurut dia, secara teori ekonomi jika bunga acuan BI naik dapat mendorong arus modal masuk sehingga diharapkan akan menguatkan nilai tukar rupiah.
Tetapi dalam kondisi yang tidak menentu atau mengarah pada suasana krisis ekonomi, pasar dapat mengartikan naiknya bunga acuan sebagai meningkatnya resiko sehingga hasilnya akan kontra produktif dengan tujuan menstabilkan nilai tukar.
Menurut Anggota DPR dari Fraksi PDIP itu, apabila alasannya untuk mengurangi dampak lonjakan inflasi akibat kenaikan harga BBM pemerintah dapat mengatasinya dengan serangkaian kebijakan fiskal seperti menaikan pajak pada barang-barang "non-tradable".
"Jika menengok kembali kebijakan moneter ini untuk merespon kenaikan harga BBM maka betapa besarnya ongkos yang dikeluarkan demi `menghemat` subsidi energi tersebut, yang pada akhirnya mungkin jauh lebih besar dibanding jumlah subsidi yang dihemat," katanya.
(A039/N002)
Pewarta: Agus Salim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013