Jakarta (ANTARA) - Sudah lebih dari tiga dasawarsa, setiap 1 Desember masyarakat memperingati Hari AIDS Sedunia, untuk mengingatkan bahwa virus yang menggerogoti daya imun itu masih mengancam manusia.

Hari AIDS juga dimanfaatkan untuk menyingkirkan stigma negatif dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Biasanya, pada hari itu, pita merah dikenakan sebagai simbol universal kepedulian dan dukungan bagi ODHA. Warna merah dipilih sebagai simbol keberanian, keinginan kuat, serta hati dan cinta.

Indonesia sudah membuat kemajuan signifikan dalam perang melawan HIV/AIDS. Menurut data Kementerian Kesehatan, pada 2022 diperkirakan 510 ribu penduduk usia di atas 15 tahun hidup dengan HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jumlah ini diproyeksikan turun menjadi 500 ribu pada 2023 dan 489 ribu pada 2024.

Tren penularan baru HIV di Indonesia dalam catatan UNAIDS (badan PBB untuk AIDS), sejak 2010 hingga 2022 turun hingga 52 persen, dan kematian terkait AIDS meningkat hingga 60 persen.

Berbagai langkah strategis diambil untuk mencapai target bebas AIDS pada 2030, di tengah berbagai tantangan yang harus dihadapi, salah satunya adalah masih adanya stigma negatif dan diskriminasi terhadap ODHA, yang justru akan menghambat akses mereka ke pelayanan kesehatan.

Ketika penyakit ini pertama kali terdeteksi pada tahun 1981 di Amerika Serikat, orang masih menyebutnya sebagai "GRID (Gay-related Immune Deficiency)" atau "gay plague", wabah penyakit di kalangan gay.

Saat itu para dokter belum tahu penyebab sekelompok gay muda tiba-tiba menderita infeksi langka dan kanker yang berujung pada kematian.

Dalam perkembangannya, para dokter menemukan bahwa penyakit ini bukan hanya menginfeksi kaum gay, tetapi juga pengguna jarum suntik, perempuan, bayi, dan lelaki heteroseksual.

Respons masyarakat Indonesia terhadap penyakit ini adalah ketakutan, penolakan, stigma, dan diskriminasi terhadap penderita.

Keakutan itu karena jumlah kematian akibat virus ini cukup tinggi. Catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO), sejak kemunculan awal virus ini pada 1980-an, hampir 60 juta jiwa telah terinfeksi dan 25 juta di antaranya meninggal.

Mereka menolak berdekatan dengan ODHA, menolak menggunakan toilet bersama, berada di ruangan yang sama, ataupun mengobrol dengan penderita HIV karena takut tertular.

Stigma negatif juga menempel pada ODHA mengingat kelompok yang rentan terinfeksi virus ini di antaranya adalah pekerja seks, pengguna narkoba suntik, laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (MSM), dan transgender.

Mereka adalah orang-orang yang dianggap bertindak menyimpang dari norma sosial di negara ini.

Hingga kini, stigma negatif dan diskriminasi masih saja diterima, termasuk kepada ODHA yang tidak termasuk kelompok rentan itu, yaitu bayi dan anak-anak serta perempuan yang sepanjang hidupnya hanya berhubungan dengan satu lelaki (suaminya), dan tidak melakukan tindak seksual menyimpang. Mereka hanya menerima getah dari perilaku tidak sehat suami atau ayahnya.

Karena itu, posisi perempuan seperti itu, sudah tertular penyakit, masih terkena "hukuman" sosial pula dari masyarakat.

Kemenkes mencatat pada 2023 penularan HIV ke ibu rumah tangga mencapai 35 persen dan penularan dari suami ke istri tercatat 30 persen dari jumlah kasus.


Menutup diri

Dalam sebuah survei yang dilakukan UNAIDS di Indonesia, seperti dikutip pada laporan tahun 2022, sebanyak 68,7 persen responden menjawab, "Tidak", ketika ditanya apakah mereka akan membeli barang dari penjual yang terinfeksi HIV dan apakah anak dengan status HIV positif bisa bersekolah bersama anak-anak lain yang sehat.

Sebanyak 62,6 persen responden menjawab, "Tidak", untuk pertanyaan pertama dan 33,5 persen juga menjawab, "Tidak", untuk pertanyaan kedua.

Stigma dan diskriminasi dalam kehidupan masyarakat ini membuat ODHA memilih menutup diri menyimpan rapat statusnya. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui status penyakit mereka, seperti petugas kesehatan, orang tua, atau suami.

Seorang perempuan, bahkan mengaku baru memberitahu suami keduanya terkait statusnya sebagai ODHA saat ia hamil. Ia tertular HIV dari suami pertama yang seorang pecandu narkoba. Beruntung suaminya mau memahami kondisi dan memberi dukungan penuh untuk berobat. Anak yang ia lahirkan juga telah dinyatakan negatif HIV.

Rasa kaget dan sedih tentu dirasakan oleh ODHA saat tes darah menyatakan ia positif HIV. Hal ini akan menimbulkan masalah psikososial yang jika terus berlanjut akan semakin menurunkan daya tahan tubuh, bahkan bukan tidak mungkin mempercepat terjadinya AIDS.

Namun, ketika seorang ODHA memutuskan untuk membuka status penyakitnya kepada orang-orang terdekat, ia harus siap menghadapi kenyataan jika suami atau keluarga tidak bisa menerimanya.

Bisa dibayangkan beban mental yang harus ia tanggung. Padahal dukungan keluarga dan orang-orang terdekat menjadi bagian penting dalam pengobatan HIV/AIDS. Perhatian dan penerimaan keluarga kepada ODHA merupakan semangat bagi mereka dalam menjalani kehidupan.

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kelompok rentan HIV tersebut mungkin memang dianggap telah melanggar aturan agama dan norma masyarakat, tetapi mengucilkan mereka dan memperlakukan secara tidak adil bukanlah tindakan yang tepat, karena akan menghambat akses ODHA untuk mendapatkan pengobatan.

Bisa jadi, ada orang yang berpotensi mengidap HIV, karena takut dikucilkan warga, ia memilih untuk tidak melakukan tes darah. Ia justru memilih lebih baik tidak tahu statusnya.

WHO menargetkan untuk Indonesia pada 2025, sebanyak 95 persen orang dengan HIV mengetahui statusnya, 90 persen ODHA mendapatkan pengobatan anti-retroviral (ARV) dan 86 persen ODHA yang mendapatkan pengobatan bisa menekan perkembangan virus.

Sementara target eliminasi HIV/AIDS pada 2030 adalah 95-95-95, yaitu 95 persen ODHA mengetahui statusnya, 95 persen berobat ARV, dan 95 persen yang berobat mengalami penurunan "viral load" atau jumlah virus dalam darah.

Saat ini baru 75 persen ODHA yang tahu statusnya, 39,6 persen berobat ARV, dan 32,4 persen ODHA berobat menurun jumlah virus dalam darahnya.

Dengan kemajuan di bidang kedokteran, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) bisa memiliki umur lebih panjang dan berkualitas. Para ilmuwan sudah menemukan obat untuk mencegah penularan.

Dengan pengobatan yang tepat, AIDS bukan lagi menjadi vonis mati.


Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023