Pakar ekonomi politik dari Universitas Indonesia Ichsanuddin Noorsy tidak bersepakat dengan apresiasi sejumlah kalangan dan berbagai lembaga independen yang mengakui keberhasilan reformasi Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi terdepan pemerintah dalam memberantas korupsi.


Pandangan ini didasarkan pada pengamatan Ichsanuddin terhadap indikator-indikator yang dipakai untuk mengukur apresiasi tersebut yang disebutnya belum cukup sehingga tidak cukup meyakinkan bahwa reformasi telah berjalan dengan baik.


Dia menunjuk tidak membaiknya tax ratio belakangan ini, masih munculnya kasus-kasus suap yang melibatkan pegawai pajak, dan tidak mengemukanya tingkat kepuasan wajib pajak dan terhadap petugas pajak.


Untuk membawa kembali Direktorat Jenderal Pajak ke rel reformasi birokrasinya, Ichsanuddin mengajukan sejumlah saran. Namun yang paling mengemuka dari sarannya ini adalah perbaikan sistem pengawasan, terutama pada sistem ganjaran dan hukuman atau reward and punishment.


Bagi Ichsanuddin reformasi birokrasi pada Ditjen Pajak mesti terus diperbaiki dan ditegaskan dengan langkah-langkah nyata lainnya.


Pertama, saran Ichsanuddin, para petinggi Ditjen Pajak harus berhenti bergantung pada pihak di luar sistemnya yang menentukan direktorat ini khususnya, dan Kementerian Keuangan umumnya.


Intinya, menunjukkan sikap independen akan menunjukkan dan memberi kesempatan untuk menampilkan kerja yang lebih profesional. Oleh sebab itu, kebiasaan bergantung kepada mereka dan partai-partai yang berpengaruh untuk mendapatkan jabatan harus dihentikan, karena ini juga menjadi pemecah konsentrasi kerja para profesional yang seharusnya hanya demi memperbaiki, meningkatkan dan memajukan sistem kerja atau birokrasi pada direktorat ini


Lalu yang kedua, sambung Ichsanuddin, Direktorat Jenderal Pajak harus memperbaiki iklim dan lingkungan kerja yang baik. Ini penting untuk menumbuhkan kerja yang terus menerus profesional.


Ketiga, yang disebut Ichsanuddin paling mendasar, adalah mencegah benturan kepentingan dalam tubuh Direktorat Jenderal Pajak dan Kementerian Keuangan.


Menurut dia, para pembayar dan petugas pajak melihat betapa saat ini Ditjen Pajak dan Kementerian Keuangan terlibat dalam konflik kepentingan.


"Salah satu konflik kepentingan, Kemenkeu hanya banyak menjalankan tugas atau amanat asing. Dan itu dirasakan oleh orang-orang pajak," kata dia, seraya menyebut salah satu amanat asing itu berasal dari Bank Pembangunan Asia (ADB).


Hal lainnya adalah membangun reformasi perpajakan yang sesuai dengan konteks Indonesia dengan tidak lagi tergantung kepada definisi pihak asing seperti Bank Dunia.


Ichsanuddin juga mengkritik sistem reformasi birokrasi pada Ditjen Pajak dan Kementerian Keuangan terlalu tergantung pada sistem remunerasi yang disebut dia seharusnya tidak demikian.


Konflik kepentingan lain yang disebut Ichsanuddin sering muncul adalah ada dua perintah berbeda.


"Di satu sisi kita disuruh meningkatkan penerimaan pendapatan negara, tapi di sisi lain, kita berbenturan dengan Ditjen Anggaran yang mengeluarkan dana begitu saja, dan berada di bawah Menteri Keuangan, ya enggak benar dong, enggak beres!" kata dia.


Menurut Ichsanuddin, Ditjen Pajak mesti dilepaskan dari konflik kepentingan sehingga bisa lebih cepat dan lebih baik lagi mereformasi dirinya.


Dia khawatir jika pada Menteri Keuangan terjadi konflik kepentingan, maka konflik itu akan menjalar ke bawahnya. "Jadi perbaiki dulu hulunya, baru hilirnya," kata Ichsanudin.


Kemudian, demi menjamin konflik kepentingan terkelola dengan baik dan reformasi birokrasi berjalan baik maka sistem pengawasan harus terus diperbaiki, terutama pada sistem reward and punishment.


Pengawasan yang lebih baik ini sebenarnya bisa lebih kuat lagi dengan adanya sistem wistleblowing. Sayang, pada praktiknya, menurut Ichsanuddin, tidak berjalan baik dan juga tidak mendorong iklim kerja serta lingkungan kerja yang lebih sehat karena kontrol yang lemah itu.


"Jadi iklim kerja dan lingkungan kerja di Direktorat Jenderal harus sehat. Dan semua sangat tergantung pada Menteri Keuangan, sebab UU 17/2003 tentang keuangan negara, pemerintah tetap merancang, menganut, mengadopsi, mengakui dan menjalankan penyakit kronis konflik kepentingan tadi," papar Ichsanuddin.


Namun dia tidak melihat ada sistem birokrasi lain di luar Direktorat Jenderal yang lebih baik lagi. Harus diakui sistem birokrasi di Ditjen Pajak adalah yang terbaik saat ini dibandingkan di institusi lainnya.


Dia sendiri melihat sistem birokrasi di negeri ini umumnya dibuat untuk melayani kepentingan bisnis. Hal mana tidak terjadi pada Ditjen Pajak, karena pada institusi ini dirancang untuk melayani masyarakat dan Negara dalam mengamankan penerimaan Negara.


"Reformasi birokrasi itu ditujukan untuk membangun keseimbangan hubungan dan memperbaiki layanan dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan," kata dia.


Sementara tugas-tugas pemerintahan di mana Ditjen Pajak juga menjalankannya adalah amanat konstitusi. Oleh karena itu, reformasi birokrasi, termasuk pada Ditjen Pajak, adalah demi menunaikan amanat agung konstitusi negeri ini.


Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2013