Jakarta (ANTARA News) - Mencari nama Reza Aprianengsih di kawasan TPA Bantar Gebang, Bekasi, bukan persoalan sulit. Dengan langkah kecil yang riang mereka akan senang hati mengantar ke rumah Reza yang berada di antara belantara sampah. Gadis kelahiran Padang, 21 tahun lalu ini sangat populer di kalangan anak-anak karena aktivitasnya mengajar di sanggar anak "Satu Untuk Semua" yang berdiri di lingkungan TPA sejak tahun 2002. Mahasiswi semester tiga Universitas Gunadharma ini bercita-cita agar anak-anak di TPA tidak minder dengan pekerjaan orang tuanya sebagai pemulung. "Saya hidup juga dari hasil Bapak bekerja mengumpulkan sampah, tapi sekarang saya tidak minder. Semangat ini yang ingin saya tularkan pada anak-anak," katanya bersemangat. Perasaan minder sebagai anak pemulung sempat diakui Reza, namun karena terus berprestasi di sekolah rasa percaya dirinya mulai muncul. "Saya ingin anak-anak TPA bisa menggali potensi diri, di sanggar mereka bisa menyanyi, bermain musik, dan main drama," katanya. Meski mengaku senang dengan aktivitas mengajar di sanggar, kadang ia sedih karena anak-anak TPA banyak yang putus sekolah. Ia berkeinginan membeli mesin jahit dan alat pencetak kertas daur ulang untuk anak-anak didiknya. "Meski putus sekolah, tapi kalau punya keterampilan kan bisa membantu mereka mencari uang dari menjahit atau membuat kartu dari kertas daur ulang," katanya. Untuk mendapat bantuan peralatan itu, belasan proposal telah diajukan gadis berjilbab ini ke sejumlah lembaga donor dan bahkan pada pemerintah. Sayangnya sampai saat ini belum ada satu pun yang menjawab proposalnya. "Mungkin karena sekarang perhatian pemerintah sedang tertuju pada Aceh dan Yogya pascagempa, jadi ya saya maklum saja," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006