Jakarta (ANTARA) - Dosen Psikologi Universitas Gadjah Mada Novi Poespita Candra mengatakan, literasi yang baik penting dalam mengelola pikiran agar dapat mengontrol emosi saat mendapatkan informasi yang beredar di kala kampanye Pemilu 2024.
"Apa artinya literasi? Literasi itu berarti kemampuan mengolah informasi, yang itu terkait dengan kompetensi prefrontal itu dalam mengolah informasi, ya," kata Novi ketika dihubungi ANTARA di Jakarta pada Rabu.
Novi mengatakan, manusia memiliki bagian otak bernama prefrontal cortex yang berfungsi untuk mengelola pikiran dan emosi. Dia menilai, kapasitas berpikir yang baik, yang biasa disebut dengan berpikir kritis atau berpikir analitik, membuat seseorang mampu untuk menganalisis kondisi, memahami, dan mengelola informasi yang diterima.
Baca juga: Menkominfo ungkap langkah membangun masyarakat digital yang unggul
Dia menjelaskan, apabila kemampuan berpikir kritisnya rendah, maka akan ada sejumlah kesulitan secara mental, seperti kesulitan membuat keputusan, atau bahkan terlalu cepat membuat keputusan.
"Nah, untuk bisa bagus, dia kan berarti harus well-literate. Literasinya itu harus bagus, harus baik. Jadi dia harus banyak membaca, membandingkan, mengelola banyak informasi, terus dia itu sanggup untuk mengelola itu. 'Oh ini kayaknya benar', 'oh ini kayaknya bermanfaat', 'ini gak bermanfaat'. 'Ini kayaknya cuma gimmick', gitu," dia menjelaskan.
Menurutnya, apabila kemampuan literasi kurang, maka ada kecenderungan bagi seseorang untuk baper (terbawa perasaan) ketika mendapatkan sebuah informasi, termasuk terpancing emosi ketika orang yang mereka idolakan atau jagokan dijelek-jelekkan oleh pihak lain.
Oleh karena itu, ujarnya, penting bagi seseorang untuk memiliki literasi yang baik. Dengan demikian, katanya, mereka tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan dan dapat menghindari fanatisme. Novi mengatakan, mereka dengan literasi yang baik akan mempelajari betul-betul tentang calon-calon presiden dan wakil presiden yang berkontestasi, seperti tentang rekam jejaknya dan latar belakangnya.
Dia menambahkan, selain dengan membaca buku, publik juga dapat menonton video-video untuk lebih memahami para calon itu, sehingga mendapatkan banyak informasi.
"Sampai dia yakin nanti 'mana ya yang aku pilih'. Sehingga dia tidak terbawa emosi, tidak mudah terbawa emosi, karena dia mampu mengelola pikirnya," katanya.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) Heri Wiranto mengingatkan masyarakat terkait potensi penyebaran hoaks selama masa kampanye Pemilu 2024 yang akan segera berlangsung.
Dia menjelaskan, pada pengalaman Pemilu 2019 yang lalu, mayoritas konten hoaks pada pemilihan presiden bersifat provokatif. Adapun konten hoaks Pemilu 2019 terdiri dari 45 persen provokasi, 40 persen propaganda, dan sisanya berupa kritik.
"Diprediksi pada pemilu kali ini juga akan semakin meningkat yang dapat menimbulkan kebingungan masyarakat dan dapat memengaruhi jalannya pemilu serta pemilihan yang demokratis, karena bisa berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa," kata Heri di Jakarta pada Selasa (21/11).
Adapun masa kampanye Pemilu dijadwalkan pada 28 November 2023-10 Februari 2024.
Baca juga: Google.org dan ASEAN Foundation luncurkan e-learning literasi digital
Baca juga: Kemenkominfo komitmen lindungi kelompok rentan dari bahaya "deep fake"
Baca juga: KPI beri perhatian literasi digital agar informasi dihadirkan layak
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023