Jakarta (ANTARA News) - Meski dianggap kurang efektif karena selisih waktu yang singkat sejak terjadinya gempa hingga terjadinya tsunami, Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) Tsunami 60-70 persen tetap dinilai bermanfaat untuk menyelamatkan nyawa manusia. "Sistem itu tetap bermanfaat 60-70 persen, asal saja masyarakat sudah dipersiapkan dalam menghadapi gempa yang kapan saja bisa datang," kata Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Heri Haryono di Jakarta, Jumat. Ketika gempa itu terjadi, ujarnya, itu merupakan tanda waspada apakah akan diikuti tsunami atau tidak, dan apa yang harus dilakukan ketika ternyata ada tsunami, namun gempanya sendiri tak pernah bisa diprediksi kapan dan di titik mana kedatangannya. "Seismograf sendiri sudah bisa mengetahui di mana pusat gempa hanya dalam waktu tujuh menit setelah kejadian, namun yang menjadi masalah utama untuk memberitahu adanya tsunami atau tidak, adalah sistem komunikasinya kepada masyarakat," ujarnya. Waktu tempuh tsunami ke pesisir pantai setelah diketahui ada gempa hanya 5-40 menit, sementara dengan peralatan yang tercanggih saat ini baru bisa memprediksi adanya tsunami atau tidak setelah 15-20 menit. "Selisih waktu yang sangat singkat itu menjadi kendala besar bagi masyarakat untuk membuat keputusan karena saat itu masyarakat mungkin masih dalam perasaan terkejut. Jadi, yang penting adalah kesiagaan masyarakat," katanya. Ia mencontohkan, penduduk Pulau Simeuleu, mereka sangat siap menghadapi tsunami. Ketika terjadi tsunami Aceh, hanya tujuh penduduk yang tewas, padahal tsunami datang hanya delapan menit setelah gempa. Heri mengingatkan, pesisir barat Sumatera dan selatan Jawa adalah jalur yang perlu diwaspadai, karena berdasarkan pengamatan geologi, sepanjang daerah itu merupakan jalur rawan dan berdasarkan sejarah gempa selalu bersiklus di sana. "Untuk Sumatera, sudah dipetakan sesar aktif di sana, siklus gempanya juga sudah diketahui sekitar 200-220 tahun, tetapi di Jawa belum diketahui, karena setiap zone mempunyai siklus sendiri," katanya. Perlu dicatat, ujarnya, seismograf baru ditemukan pada awal abad 20, jadi gempa-gempa sebelumnya hanya tercatat dalam sejarah. Ia juga menegaskan, Jakarta tidak pernah menjadi episentrum gempa, namun belum dipastikan apakah terletak di patahan aktif atau pasif, dan tetap akan merasakan getaran jika gempa tersebut terjadi di selat sunda atau selatan Jawa. "Gempa Meksiko jaraknya 300 km jauhnya dari episentrum, tetapi cukup menghancurkan kota itu, dan ada banyak faktor meningkatkan resiko, bisa batuannya yang muda, laut dangkal, infrastrukturnya kurang kuat, padat penduduk dan lain-lain," katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006