... bukan aparatur negara tidak netral, melainkan terdapat upaya untuk membenturkan antar-institusi aparatur negara dengan isu netralitas.
Jakarta (ANTARA) - Kanal konflik dalam sebuah negara demokratis, antara lain, difasilitasi dalam pemilihan umum. Perbedaan pendapat disalurkan dalam aspirasi di bilik suara. Para kandidat berfungsi sebagai checkpoint perjuangan di lembaga eksekutif dan legislatif, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Oleh karena itu, pemilu harus dilaksanakan dengan penuh perdamaian dan demokratis. Sulit membayangkan penyelenggaraan negara 5 tahun ke depan dapat berjalan kondusif tanpa pemilu yang damai dan demokratis.
Salah satu upaya untuk menjaga pemilu damai adalah menjaga netralitas aparatur negara: pegawai negeri sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), termasuk aparatur intelijen negara.
Mengapa? Karena para aparatur didesain untuk mengabdi kepada kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan/atau kelompok politik tertentu. Akan muncul masalah di kemudian hari jika para aparatur negara ini bersifat tidak netral dalam pemilu.
Kekhawatiran yang lain, tatkala aparatur negara tidak netral, maka besar kemungkinan sumber daya strategis mereka dipergunakan untuk kepentingan pemenangan kandidat tertentu. Itulah sebabnya, TNI dan Polri tidak diperkenankan memiliki hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Kedua institusi ini memiliki sumber daya nasional dan satu komando.
Bagaimana aparatur yang lain? meski PNS dan personel intelijen memiliki hak memilih, mereka terikat pada undang-undang untuk berpegang pada prinsip netralitas sehingga tidak diperkenankan untuk mengapresiasikan dukungannya kepada kandidat tertentu dalam bentuk apa pun. Demikian halnya dengan aparatur desa, tidak luput dari isu netralitas pada Pemilu 2024 dengan alasan yang sama.
Akhir-akhir ini, publik diperlihatkan dengan sejumlah tudingan “tidak netral” yang ditujukan kepada TNI, Polri, dan BIN pada Pemilu 2024. Polri disebut oleh salah satu tim pasangan capres-cawapres tidak netral. Tudingan ini pada akhirnya tidak bisa dibuktikan. Polri sendiri menetralisasi situasi dengan penegasan netralitasnya pada Pemilu 2024.
Berbeda dengan Polri, BIN juga dituding tidak netral dengan cara yang berbeda. Beberapa waktu lalu beredar di publik dokumen pakta integritas untuk memenangkan capres tertentu yang memuat tanda tangan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Barat. BIN dituding menyalahgunakan data intelijen untuk kepentingan politik.
Tentu saja tudingan ini cukup janggal, mengingat cara kerja intelijen bukanlah bersifat eksekutorial, melainkan fungsi deteksi dini dan cegah dini terhadap potensi ancaman nasional. Dalam konteks pemilu, ruang gerak intelijen terbatas karena pengawasan dari DPR dan Tim Pengawas Intelijen sangat ketat sehingga tidak memungkinkan ada penyalahgunaan data intelijen. Secara otomatis, tudingan ini tidak valid.
Di sisi lain, masyarakat sipil meragukan netralitas TNI jelang pemilu 2024. Mereka berdalih bahwa Panglima TNI terpilih pada awal November lalu, disinyalir memiliki hubungan dekat dengan Presiden. Tentu saja hal ini dibantah dengan tegas oleh Panglima TNI terpilih diikuti dengan tindakan nyata berupa pendirian posko pengaduan netralitas TNI di setiap Daerah.
Sementara itu, aparatur perangkat desa secara masif mengikrarkan netralitasnya di setiap wilayah. Misalnya, di Sulawesi, Mojokerto, dan sejumlah daerah lainnya. Ikrar ini sebagai bentuk penetralisiran situasi bagi aparatur desa yang sering dituding tidak netral pada setiap pemilu.
Demikian halnya ASN, baik di tingkat pusat maupun daerah. ASN telah menegaskan netralitasnya dalam berbagai momentum. Peraturan cara foto bagi ASN yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan telah beredar secara luas. Ini menunjukkan bahwa netralitas ASN telah disusun hingga level teknis operasional.
Dari sejumlah kejadian di atas dapat disimpulkan bahwa bukan aparatur negara tidak netral, melainkan terdapat upaya untuk membenturkan antar-institusi aparatur negara dengan isu netralitas. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengganggu stabilitas dan harmonisasi penyelenggaraan negara sehingga diperlukan upaya untuk menetralisasi situasi yang berkembang.
Adalah tugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai institusi yang diberikan kewenangan pengawasan pemilu, di antaranya isu netralitas aparatur negara ini. Dengan kewenangannya, Bawaslu dapat melakukan konfirmasi, klarifikasi, dan penelusuran informasi lebih lanjut untuk kemudian memberikan pernyataan ke publik bahwa aparatur negara yang diduga tidak netral ini tidak terbukti.
Berkaca dari Pilkada DKI 2017 dan Pemilu 2019, bahaya yang mengancam keselamatan bangsa pada Pemilu 2024 sesungguhnya adalah disinformasi yang berdampak pada segregasi sosial. Masyarakat terpecah dalam kelompok “cebong” dan “kampret” yang sering digunakan dalam interaksi sosial sehari-hari.
Bukannya hal ini tidak pernah terjadi. Di Amerika Serikat, pada Pemilu 2016, intelijen Rusia bermain di ranah media sosial di AS. Tim Juri Federal Amerika Serikat--atas diskresi Kejaksaan Agung AS--mendakwa 12 agen dan perwira Badan Intelijen Militer Rusia (GRU) ikut campur dalam Pemilu AS.
Ke-12 agen tersebut menjalankan operasi penyerangan email figur tertarget (spearphishing), berkomentar untuk membangun kontroversi (trolling), dan menggunakan media sosial untuk memengaruhi pikiran masyarakat AS. Meski tidak ada bukti bahwa upaya Rusia ini memengaruhi hasil pemilu, hal itu berdampak besar pada segregasi sosial dan ketidakpercayaan publik AS terhadap pemerintahan Donald Trump.
Tahun 2023 ini tak kalah menghebohkan. Masih di AS. Kecanggihan artificial intelligence (AI) telah menumbuhkan kejahatan baru dalam pemilu. Menjelang Pemilu Presiden AS 2024, sebuah video yang dibuat oleh AI menunjukkan Presiden Biden mendeklarasikan rancangan nasional untuk membantu upaya perang Ukraina. Dengan menghilangkan konteksnya, video ini telah menghasilkan tweet menyesatkan dan ditonton lebih dari 8 juta kali.
Sebuah deepfake juga beredar yang menggambarkan Senator Elizabeth Warren asal Massachusetts bersikeras bahwa Partai Republik dilarang memberikan suara pada tahun 2024. Aktor jahat telah menggunakan AI generatif dengan tujuan untuk mengganggu pemilu.
Dalam konteks Indonesia, popularitas ChatGPT dan OpenAI memudahkan akses Generasi Z untuk mengetahui pemilu melalui aplikasi tersebut. Namun, yang perlu diketahui bahwa AI generatif mereproduksi informasi berdasarkan input yang dilatih dan berulang. Sangat membuka kemungkinan para pengguna AI generatif tersebut memperoleh informasi yang sudah “dimanipulasi” dari input yang dilatih dan berulang itu.
Kita tidak menginginkan situasi ini terjadi di Indonesia. Di saat kita sedang meributkan netralitas aparatur negara, diam-diam intelijen asing atau non-state actor di dalam negeri sedang beroperasi untuk mengacaukan pelaksanaan Pemilu 2024.
Aktifnya sel-sel teroris untuk mengganggu jalannya Pemilu 2024 lebih membutuhkan perhatian dibandingkan isu netralitas aparatur negara. Demikian halnya dengan separatisme di Papua, pasti akan merambah untuk mengganggu Pemilu 2024. Tantangan disinformasi dan hoaks pemilu justru lebih membutuhkan perhatian utama.
Oleh karena itu, biarkanlah lembaga yang berwenang, Bawaslu, mengurusi masalah ini. Para aparatur pemerintahan tetaplah solid, berkonsolidasi, dan saling bersinergi satu sama lain untuk menciptakan Pemilu 2024 yang kondusif, damai, tetap menjaga persatuan dan demokratis untuk menuju Indonesia Emas 2045.
*) Ngasiman Djoyonegoro adalah analis intelijen, pertahanan, dan keamanan; Rektor Institut Sains dan Teknologi al-Kamal Jakarta
Copyright © ANTARA 2023