Pemerintah berharap Indonesia tidak masuk dalam persoalan fiskal yang berkelanjutan dengan cara pembatasan subsidi BBM, yang kemudian akan dialihkan untuk premi jaminan kesehatan,"
Jakarta (ANTARA ntara) - Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mahendra Siregar menyatakan pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk anggaran premi Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) merupakan langkah untuk mencegah persoalan fiskal.
"Pemerintah berharap Indonesia tidak masuk dalam persoalan fiskal yang berkelanjutan dengan cara pembatasan subsidi BBM, yang kemudian akan dialihkan untuk premi jaminan kesehatan," kata Mahendra di Jakarta, Rabu.
Wamenkeu menyampaikan rencana pengalihan subsidi BBM untuk premi Jamkesmas dalam rapat kerja Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan dan Bappenas yang membahas kesiapan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional.
Mahendra mengatakan tidak bisa dipungkiri bahwa sistem "universal health care" (layanan kesehatan menyeluruh), bila dilihat dari sisi pengelolaan fiskal, ada yang berhasil dikelola dengan baik oleh suatu negara, tetapi ada juga yang kurang berhasil.
"Bahkan, saat ini kita saksikan banyak sistem "universal health care" yang justru menjadi persoalan tidak terkendali dan menciptakan krisis keuangan di berbagai negara," ujarnya.
Oleh karena itu, dia berpendapat pengurangan subsidi BBM yang kemudian dialihkan ke anggaran premi Jamkesnas untuk penerima bantuan iuran (PBI) sebagai cara yang paling tepat untuk mengatasi beban fiskal.
"Sebab jumlah seluruh anggaran kesehatan sebesar Rp67,5 triliun itu tetap jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran untuk subsidi BBM 2013 yang mencapai Rp300 triliun," jelasnya.
"Ini juga yang kami pegang bedasarkan rapat kerja pada 13 Maret 2013, ada kesepakatan untuk pengurangan subsidi BBM untuk dialihkan ke anggaran premi PBI. Maka iuran untuk PBI pun meningkat dari Rp15.500 menjadi Rp19.225 per orang per bulan," tuturnya.
Sehubungan dengan kelompok masyarakat yang menerima bantuan iuran Jamkesnas, Wamenkeu mengatakan ada 86,4 juta PBI yang terdiri dari penduduk sangat miskin, penduduk miskin, dan penduduk hampir miskin.
"Sedangkan untuk total angka 96,7 juta itu termasuk penduduk yang hidup di atas garis kemiskinan. Namun, mereka masuk dalam daftar penduduk dengan pendapatan terendah, tapi berpendapatan rendah itu bukan berarti semua miskin," katanya.
Pada kesempatan itu, Mahendra menjelaskan kriteria warga miskin yang digunakan untuk menghitung jumlah PBI adalah berdasarkan standar dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurut dia, pada September 2012, BPS menetapkan garis kemiskinan dengan pendapatan sebesar Rp259.520 per kapita per bulan. Kemudian pada Maret 2013, BPS menetapkan garis kemiskinan dengan kriteria pendapatan sebesar Rp271.626 per kapita per bulan.
(Y012/A039)
Pewarta: Yuni Arisandy
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013