Darwin (ANTARA News) - "Sail Indonesia" (SI) yang diikuti 100 perahu layar dari sedikitnya 15 negara dipastikan bertolak dari Darwin, Sabtu, menuju perairan Indonesia, kata Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cinta Bahari Indonesia (YCBI), Raymond T.Lesmana. "Kegiatan SI tahun ini merupakan yang terbesar di Asia dan sudah menjadi bagian dari reli pelayaran internasional. `Flag off` (acara pelepasan-red.) dilaksanakan Sabtu (22/7)," katanya kepada ANTARA News di Darwin, Jumat. Seratus perahu layar dari negara-negara seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Selandia Baru, Norwegia, Hongkong (China), Swedia, Swiss, Belanda, Belgia, dan Vanuatu itu langsung bertolak ke Kupang, Alor, Lembata Riung, Makassar, Bali, Karimun Jawa, dan Kumai (perairan Indonesia), katanya. Dari Kumai, para peserta langsung keluar perairan Indonesia melalui Pulau Batam menuju Singapura dan Langkawi (Malaysia), katanya. "Sayangnya tidak ada perahu layar Indonesia yang ikut. Walaupun ada perahu layar bernama `Merpati Putih`, perahu itu milik orang asing," kata Raymond. Kendati demikian, acara yang sudah masuk kalender reli layar internasional setiap minggu ketiga Juli itu berdampak positif bagi upaya Indonesia memajukan sektor pariwisata, potensi daerah, perluasan informasi tentang masyarakat pesisir, dan olahraga bahari. "Yang tak kalah pentingnya adalah rute pelayaran itu sendiri diharapkan dapat diangkat menjadi destinasi yang selama ini aksebilitasnya sulit," katanya. Menurut Raymond yang turut didampingi mitranya, Pardomuan Siregar, selama berada di Darwin, semua awak perahu layar peserta akan disambut kepala pemerintah daerah yang menjadi destinasi rute pelayaran ini. Dalam kesempatan itu, gubernur dan kepala daerah tingkat dua dapat memperkenalkan potensi investasi dan industri pariwisata di daerah mereka masing-masing, katanya. "Jadi kegiatan SI ini sangat positif bagi daerah-daerah dan bisa pula menjadi penggerak potensi pariwisata dan olahraga bahari di Tanah Air," katanya. Sebelum menjadi SI, "event" sejenis sudah mulai dirintis sejak tahun 1973 melalui kegiatan pelayaran Darwin-Ambon namun selalu kandas akibat berbagai masalah, kata Raymond. Namun, waktu yang diberikan pemerintah Indonesia kepada para peserta selama tiga bulan dirasakan tidak cukup untuk dapat mengenal berbagai keunikan dan keindahan kepulauan Nusantara yang begitu luas. Kendala lain bagi peserta adalah keharusan mendapatkan "clearance and approval for Indonesia territory" (kejelasan dan persetujuan untuk berlayar di perairan Indonesia) yang prosesnya tidak selalu cepat, katanya. "Padahal, menurut para peserta SI, mereka memerlukan sedikitnya satu tahun untuk dapat menikmati pelayaran di perairan dan pulau-pulau Indonesia," katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006