Jakarta (ANTARA) - Menjelang COP28 yang akan segera digelar, panggung telah disiapkan untuk mengejar peluang dalam membangun dan meningkatkan kemitraan ekonomi antara Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan pasar-pasar baru seperti Indonesia.

Namun, mari kita tengok kembali ke COP26, saat semua pihak setuju untuk memperbarui dan memperkuat rencana iklim mereka guna memenuhi Paris Agreement, serta saat Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP) lahir.

Ketika itu, delapan dari sepuluh negara ASEAN, termasuk Indonesia, menetapkan target emisi yang ambisius, seperti meningkatkan tujuan dekarbonisasi jangka pendek hingga tahun 2030 atau mempercepat rencana untuk mencapai net-zero emission dari tahun 2060 menjadi 2050.

Pengalaman tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa biaya awal infrastruktur energi bersih sangat besar, yang menegaskan bahwa setiap negara tidak bisa melakukannya sendiri, dibutuhkan dukungan sektor swasta dan publik, baik di dalam maupun di luar Asia Tenggara.

Kebutuhan ini menambah urgensi dari diskusi dan hasil COP28.


Bekerja sama

Asia Tenggara, yang sangat rentan terhadap perubahan iklim karena memiliki banyak wilayah pantai dan pulau, diperkirakan akan mengalami peningkatan kebutuhan energi sebanyak tiga kali lipat pada tahun 2050. Keadaan mendesak ini menuntut inovasi yang cost-effective untuk mempercepat dekarbonisasi.

Meskipun pemerintah mendukung keberlanjutab, kurangnya pendanaan dan keahlian menghambat penyelesaian proyek tepat waktu.

Regulasi energi terbarukan juga bervariasi, yang menjadi tantangan bagi para investor.

Praktik energi pada umumnya yang cenderung memprioritaskan opsi yang terjangkau dan mudah, seperti batu bara dan minyak bumi, menyebabkan Asia Tenggara menggandakan emisi CO2-nya dari tahun 1990 hingga 2020, dimana pertumbuhan ini lebih cepat dibandingkan wilayah lainnya sepanjang tahun 1990 hingga 2010.

Kesampingkan dulu pertumbuhan ekonomi,, kenaikan suhu yang tidak terkendali mendorong peningkatan bencana, penurunan hasil pertanian, kesehatan memburuk, produktivitas rendah, dan penurunan pariwisata.

Perkiraan kerugian PDB wilayah Asia Tenggara pada akhir abad ini berkisar antara 10 persen (ADB) hingga 37 persen (Swiss Re), membawa konsekuensi serius, mengingat populasi wilayah tersebut yang terus berkembang.

Menurut Bank Dunia, Indonesia menghadapi ancaman perubahan iklim yang signifikan, terutama bagi ekonomi kelautan dan masyarakat sekitarnya.

Sektor perikanan, yang berkontribusi sebesar 26,9 miliar dolar AS setiap tahun (sekitar 2,6 persen dari PDB), setengah dari protein nasional, dengan 7 juta pekerjaan, menjadi sangat rentan.

Dampak perubahan iklim pada sektor perikanan akan sangat mempengaruhi mata pencaharian, ketahanan pangan, dan pertumbuhan ekonomi.

Dampak-dampak ini meluas ke berbagai sektor dan wilayah dimana dapat mengakibatkan kerugian ekonomi antara 2,5 persen hingga 7 persen dari PDB negara.

Hal tersebut membuat saat ini menjadi waktu yang penting bagi dunia untuk bersatu dan membantu Asia Tenggara beralih ke energi terbarukan.

Jika tidak, upaya dekarbonisasi ekonomi maju bisa sia-sia.

Untungnya, ada banyak peluang di wilayah ini. Beberapa pasar di Asia Tenggara yang disebut sebagai "pasar perintis", menarik investor dengan berbagai peluang yang belum dikembangkan.

Namun, lokasi-lokasi ini berisiko dan membutuhkan modal filantropi sebagai fondasi awal bagi progres selanjutnya.


Filantropi katalis

Filantropi dapat menyediakan modal, pengembangan kapasitas, berbagi pengetahuan, bantuan teknis, penelitian, dan analisis dampak yang diperlukan untuk mempercepat pertumbuhan hijau Asia Tenggara, sekaligus mengatasi hambatan-hambatan kompleks.

Organisasi filantropi mampu berkolaborasi dengan regulator pemerintah dan utilitas, baik swasta maupun publik, untuk menciptakan inisiatif-inisiatif percontohan dan memberikan pendanaan awal yang memungkinkan pemerintah dan pelaku bisnis berinvestasi dalam proyek-proyek baru dengan risiko lebih rendah.

Hal ini karena filantropi cenderung memiliki toleransi risiko yang lebih tinggi dan berperan penting dalam memobilisasi solusi-solusi berkelanjutan dari bawah ke atas, terutama menggunakan pendanaan campuran (blended finance) yang memungkinkan para pemangku kepentingan dengan tujuan berbeda berinvestasi bersama.

Pendanaan campuran memungkinkan penyuntikan dana melalui bank pembangunan dan organisasi filantropi untuk mengisi kesenjangan antara permintaan proyek dan ketersediaan pendanaan publik.

Proyek-proyek tahap awal ini mungkin tidak komersial saat dimulai, tetapi memiliki potensi jangka panjang dalam memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan berkelanjutan, memberikan imbal balik keuangan yang positif, dan membuka tambahan modal dengan menarik lebih banyak investor.

Opsi-opsi pendanaan lain yang cocok dengan model filantropi, termasuk garansi (guarantess) dan asuransi risiko.

Dalam hal ini, modal awal diberikan secara pra atau pasca-investasi untuk melindungi dari kerugian atau untuk memberikan peningkatan kredit, sehingga menjamin viabilitas komersial dari sebuah proyek tanpa harapan pengembalian.

Upaya GEAPP hingga saat ini menjadi contoh bagi yang lain untuk diikuti.

Kami telah menyumbangkan modal sebesar 360 juta dolar AS sejak awal berdiri untuk capacity building, inovasi aplikatif, dan risk capital, dan kami juga telah meningkatkan co-investment menjadi 11,5 miliar dolar AS.

Investasi-investasi ini telah menghasilkan hasil awal yang menjanjikan, dengan lebih dari 245.000 koneksi energi baru atau meningkat, lebih dari 1 juta orang mendapatkan manfaat, kapasitas energi terbarukan sebesar 25 MW terwujud, serta 117.000 ton CO2 berhasil terhindarkan.


Potensi hijau Indonesia

Pada Maret 2023, GEAPP menandatangani MoU dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia untuk menciptakan roadmap penghentian penggunaan batu bara.

Kami juga mendukung pemerintah dalam merancang Sekretariat JETP dan mobilisasi/penyediaan sumber daya.

Baru-baru ini, Sekretariat JETP meluncurkan Comprehensive Investment & Policy Plan (CIPP), langkah penting bagi perjalanan energi berkelanjutan Indonesia.

GEAPP dan Climate Policy Initiative (CPI) membantu inisiatif ini melalui mobilisasi sumber daya.

CIPP merupakan hasil dari upaya kolaboratif dan inklusif antara pemerintah Indonesia, International Partners Group (IPG), dan berbagai organisasi di dalam empat kelompok kerja yang terlibat, dengan masukan dari berbagai pemangku kepentingan dari pihak eksternal.

Sejak tahun lalu, GEAPP telah memberikan dukungan pada inisiatif ini, mulai dari penyediaan sumber daya kepada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves ) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), dari persiapan awal hingga pembentukan Just Energy Transition Partnership (JETP) Sekretariat.

Dukungan ini kemudian diperluas dengan keikutsertaan pada financing dan technical working group sampai pada peluncuran CIPP hari ini.

GEAPP juga memfasilitasi konsultasi publik dengan berbagai organisasi masyarakat sipil, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta.

Pada skala yang lebih luas, Global Leadership Council (GLC) GEAPP telah menunjukkan dedikasinya dalam mengatasi hambatan-hambatan yang menghambat adopsi energi terbarukan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dengan memperkenalkan Konsorsium BESS.

Kemitraan multi-pihak ini bertujuan untuk merevolusi sistem energi di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Karibia, melalui peningkatan implementasi penyimpanan energi baterai.

Sejak COP26, Asia Tenggara telah mulai membangun reputasi sebagai lambang ambisi dan inovasi dalam pengejaran global menuju masa depan yang berkelanjutan.

Filantropis dan investor global memiliki kesempatan untuk bersatu bersama pemerintah dengan fokus bersama pada manfaat jangka panjang dari investasi hijau, energi terbarukan, dan pendanaan campuran yang dapat mendorong kemajuan wilayah ini menjadi ekonomi hijau yang berkelanjutan.

Saat ini, partisipasi aktif dan kolaborasi pada COP28 akan menjadi sangat penting untuk memajukan tujuan ini.

Sudah waktunya untuk menyatukan upaya kita untuk mendorong perubahan berkelanjutan, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh wilayah dan lebih jauh lagi.

Dengan bekerja sama, kita dapat menghasilkan dampak yang signifikan sehingga memacu perubahan transformatif, membawa ekonomi hijau yang berkelanjutan untuk Asia Tenggara dan dunia.


*) Lucky Nurrahmat adalah Country Delivery Lead, Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP) yang bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dan berbagai aktor di industri energi untuk mempercepat Just Energy Transition yang mendukung misi pengurangan karbon pada sistem energi sekaligus meningkatkan penghidupan masyarakat sebagai bagian dari transisi yang adil.


Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023