Jakarta (ANTARA News) - Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri) Komisaris Jenderal Nanan Sukarna menyatakan tim preaudit Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri memberikan catatan khusus mengenai pengadaan "driving" simulator uji klinik pengemudi roda empat (R4) anggaran 2011.
"Tim preaudit menyetujui hasil PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) untuk melaksanakan lelang dengan catatan," kata Nanan setelah menjalani pemeriksaan sekitar enam jam di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi Jakarta, Selasa.
PPK dalam kasus tersebut adalah mantan Wakakorlantas Brigjen Didik Purnomo yang juga menjadi tersangka dalam kasus tersebut.
Namun Nanan tidak menjelaskan catatan khusus yang diberikan oleh tim preaudit tersebut.
"Ada yang harus disempurnakan," tambah Nanan singkat.
Nanan menjabat sebagai Inspektur Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri saat dilakukan preaudit terhadap pengadaan "driving" simulator uji klinik pengemudi roda empat (R4).
"Preaudit ini tidak bertentangan dengan Perpres No 54 karena justru seharusnya PA (Pengguna Anggaran) harus membentuk tim khusus untuk mengawasi kewenangan KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) masing-masing," jelas Nanan.
PA dalam pengadaan simulator adalah Kapolri Jendral Pol Timur Pradopo sedangkan KPA adalah Irjen Pol Djoko Susilo.
Ia juga membantah mengetahui mengenai penggelembungan harga simulator.
"(Penggelembungan harga) itu sedang diselidiki Polri saat itu, tapi ternyata tim wasriksus (pengawasan dan pemeriksaan secara khusus) menemukan (kejanggalan), kemudian Kapolri, Irwasum, Kadivpropam (Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan) untuk membuat surat penyelidikan untuk menyelidiki pelanggaran kode etik dan dugaan korupsi," ungkap Nanan.
Namun menurut Nanan, saat polisi sedang menyelidiki hal itu malah menjadi polemik dan penyelidikan diserahkan kepada KPK.
Dalam surat dakwaan Irjen Djoko Susilo, disebutkan bahwa Kapolri memerintahkan tim Irwasum Mabes Polri yang terdiri atas Wahyu Indra P, Gusti Ketut Gunawa, Grawas Sugiharto, Elison Tarigan dan Bambang Rian Setyadi untuk melakukan preaudit terhadap proyek pengadaan simulator pada 7-9 Maret 2011.
Dalam preaduit itu dilakukan demo teknis simulator di hadapan Gusti Ketut Gunawa dan petugas BPK di pabrik PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) di Bekasi.
Direktur PT CMMA Budi Susanto kemudian meminta uang Rp50 juta kepada direktur perusahaan subkontraktor PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo S Bambang untuk diberikan kepada Gusti Ketut Gunawa.
Budi Susanto pada 10 Maret 2011 bahkan kembali mememinta Rp1,5 miliar dari Sukotjo yang akan diberikan kepada Tim Irwasum untuk memenangkan PT CMMA sebagai pelaksana pekerjaan driving simulator R4.
Setelah menerima uang Rp1,5 miliar tersebut, Tim Irwasum pun merekomendasikan PT CMMA sebagai pemenang lelang pengadaan simulator R4.
Didik Purnamo selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada 15 April 2011 menandatangani surat keputusan tentang penunjukkan pemenang lelang dan pelaksanaan Pengadaan Driving Simulator Uji Klinik Pengemudi R-4 senilai Rp142,4 miliar untuk 556 unit dengan harga Rp256,1 juta.
Total anggaran untuk pengadaan Driving Simulator Uji Klinik Pengemudi R-2 dan R-4 adalah Rp197,8 miliar.
Dalam kasus ini Didik bersama dengan Budi Susanto dan Suktojo S Bambang disangkakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 ayat (1) KUHP tentang penyalahgunaan wewenang dan perbuatan memperkaya diri sehingga merugikan keuangan negara dengan hukuman penjara maksimal 20 tahun.
Sedangkan Djoko yang sudah berstatus terdakwa didakwa pasal 2 ayat 1 Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 ayat (1) KUHP dan pencucian uang berdasarkan pasal 3 dan atau 4 Undang-undang No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan pasal 3 ayat 1 dan atau pasal 6 ayat 1 UU 15 tahun 2002 tentang TPPU dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. (D017/R021)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013