... tradisi Cio Tao dapat menjadi sarana melestarikan keberagaman budaya di Tangerang.
Jakarta (ANTARA) - Cahaya pagi menyoroti kawasan Panongan, Kabupaten Tangerang, Banten, menghiasi perhelatan sakral upacara pernikahan adat Cina Benteng, yang juga dikenal dengan nama Cio Tao.
Aroma dupa semerbak menyeruak ke udara seolah menyatu dengan alunan alat musik teh-yan yang melankolis.
Terlihat dua mempelai Ongnih dan Suanda berjalan dalam pesona pakaian tradisional Cina serupa kisah-kisah dalam film kungfu yang menghiasi layar perak.
Kedua orang tua mempelai terlihat seperti dua lilin yang terus menyala, menerangi jalan bagi anak-anak mereka. Dengan penuh kasih sayang, mereka mempersiapkan segala sesuatunya untuk memastikan agar acara sakral tersebut berjalan dengan lancar.
Dalam nuansa penuh toleransi, terlihat meja makan khusus dengan hidangan untuk umat Islam serta meja makan tersendiri bagi yang bukan beragama Islam.
Di tengah modernisasi, Ongnih dan Suanda adalah dua di antara warga Cina Benteng yang masih menjaga tradisi Cio Tao untuk merajut masa lalu dalam harapan pada masa depan.
Dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada kepercayaan Buddha, mereka tetap setia menjaga serta merawat dengan penuh kehormatan nilai-nilai dan tradisi yang telah ditinggalkan oleh para leluhur.
Meskipun telah mengadopsi keyakinan yang baru, penghargaan terhadap warisan dan ajaran leluhur Konghucu masih menjadi bagian integral dalam kehidupan spiritual dan budaya mereka, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini dalam perjalanan rohani yang terus berlanjut.
Saat ini pernikahan yang dijalankan dengan menggunakan tradisi Cio Tao sudah jarang dilakukan. Hal itu terkait dengan semakin umumnya pilihan pernikahan yang lebih sederhana dan praktis, di mana banyak pasangan lebih memilih untuk mengadakan upacara pemberkatan di vihara dan langsung melanjutkannya dengan acara resepsi.
Tradisi Cio Tao, yang dahulu merupakan ritual pernikahan berbasis keyakinan agama Konghucu, kini mengalami perubahan peran dan makna menjadi upacara pernikahan formal saja.
Perubahan itu terjadi seiring dengan banyaknya warga Cina Benteng yang beralih keyakinan menjadi penganut agama Buddha.
Meskipun tradisi ini dahulu memiliki kaitan erat dengan keyakinan agama, seiring dengan berjalannya waktu dan berubahnya keyakinan banyak orang, Cio Tao kemudian lebih dijadikan sebagai simbol dan warisan budaya yang dijaga serta dipertahankan oleh masyarakat Cina Benteng, terlepas dari latar belakang agama yang mereka anut saat ini.
Tradisi tersebut tetap dihargai dan dijaga dengan penuh penghormatan terhadap warisan leluhur mereka, meskipun sudah tidak lagi terkait erat dengan aspek keyakinan agama.
Tangerang, yang terletak di Provinsi Banten, dikenal sebagai daerah yang multikultural. Di daerah tersebut terdapat beragam suku dan etnis yang hidup berdampingan secara harmonis. Salah satu suku yang populasinya cukup signifikan di Tangerang adalah etnis Tionghoa.
Tradisi pernikahan suku Tionghoa di Tangerang menyimpan keunikan tersendiri. Inilah yang membedakannya dari tradisi serupa di berbagai daerah lain di Indonesia. Tradisi pernikahan itu dikenal dengan nama Cio Tao.
Cio Tao, sebuah ritual pernikahan khas masyarakat Cina Benteng di Indonesia, berasal dari Hokkian, Tiongkok, dan diwariskan oleh para leluhur mereka yang tiba di Batavia pada abad ke-17.
Upacara Cio Tao itu terdiri atas beberapa tahapan yakni pinang jodoh, penyerahan mas kawin, perjanjian perkawinan, upacara sembahyang, dan pesta pernikahan.
Dalam tradisi pinang jodoh, perwakilan dari keluarga calon pengantin pria akan mengajukan lamaran kepada keluarga calon pengantin wanita. Apabila lamaran diterima, keluarga calon pengantin pria akan menyampaikan mas kawin atau mahar, yang umumnya terdiri atas uang, perhiasan, serta barang-barang lainnya.
Selanjutnya dalam perjanjian perkawinan, kedua pihak membuat kesepakatan mengenai hak dan kewajiban pasangan.
Setelah itu kedua mempelai sembahyang kepada Tuhan, leluhur, dan memohon doa restu dan keberkahan dari orang tua dalam upacara tersebut.
Kedua mempelai lantas merayakan pernikahan mereka dengan keluarga dan kerabat dalam sebuah pesta yang biasanya berlangsung selama beberapa hari.
Akulturasi budaya
Sejarawan Asep Kambali mengatakan bahwa tradisi Cio Tao di Tangerang tidak terlepas dari posisi kota tersebut yang berbatasan dengan Batavia dan Banten.
Secara geografis, Tangerang terletak di pesisir pantai utara Jawa sehingga merupakan wilayah strategis terjadinya interaksi antarbudaya.
Akulturasi budaya terlihat jelas melalui perayaan Cio Tao. Tradisi ini menghimpun unsur-unsur khas dari berbagai budaya seperti Tionghoa, Sunda, dan Betawi, terutama dalam penampilan musik dan tarian yang memiliki asal-usul dari dua suku tersebut.
Keberagaman unsur budaya ini mencerminkan perpaduan harmonis antara elemen-elemen tradisional, menciptakan sebuah ritual yang kaya dengan keindahan dan keberagaman budaya.
Oleh karena itu, tradisi Cio Tao dapat menjadi salah satu sarana untuk melestarikan keberagaman budaya di Tangerang.
Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebelumnya menetapkan Cio Tao sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) 2023 dari Kota Tangerang.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tangerang, Sumangku, mengatakan proses penetapan dimulai ketika Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Tangerang menetapkan tim WBTB pada Mei 2023.
Tim ini terdiri atas sejumlah ahli, termasuk akademikus, antropolog, arsitek, budayawan, dan sejarawan.
Alasan Cio Tao terpilih sebagai WBTB karena tradisi ini memuat nilai-nilai sejarah dan keunikan yang berharga.
Proses pemilihan WBTB ini tidak semata-mata dilakukan secara asal-asalan, tetapi melalui pertimbangan teliti terhadap sejarah yang tersemat dalam tradisi Cio Tao, serta ciri khas yang membedakan tradisi tersebut dari yang lain.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023