Jakarta (ANTARA) - Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Ummi Salamah mengatakan publik perlu mengecek kebenaran suatu informasi yang beredar saat kampanye Pemilu 2024 dengan menggunakan berbagai platform yang ada.
Menurutnya, pengecekan informasi semacam itu bertujuan guna mengecek akurasi dan validitas informasi tersebut.
"Misalnya, pengguna satu platform media sosial dapat mengecek kebenaran informasi melalui platform media sosial lainnya. Lalu ada media massa yang merupakan media yang dikelola profesional. Selain itu juga ada owned media yang merupakan media resmi organisasi atau kandidat politik," kata Ummi ketika dihubungi di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Ahli sebut paslon dapat membela sesama pesaing guna atasi hoaks
Ummi menjelaskan, di antara informasi yang beredar di media sosial tentang Pemilu, terdapat sejumlah bentuk gangguan informasi. Adapun gangguan-gangguan tersebut, ujarnya, dapat berupa disinformasi, misinfomasi dan malinformasi.
Disinformasi, ujar Ummi, adalah informasi yang salah dan disebarkan dengan tujuan untuk menyesatkan. Sedangkan misinfomasi, dia menambahkan, adalah informasi yang salah namun tidak diniatkan untuk menyesatkan.
"Sementara malinformasi adalah informasi yang benar namun dibocorkan pada saat yang kurang menguntungkan," dia menambahkan.
Dia menilai, publik perlu mengetahui ketiga jenis gangguan informasi ini agar dapat memilah dan memilih informasi terkait Pemilu.
Ummi menilai, kesadaran akan gangguan informasi perlu diberikan kepada publik secara umum, karena literasi digital tidak terkait dengan usia atau karakteristik yang sifatnya terberi seperti gender atau lainnya.
"Keterampilan dan budaya digital ditentukan oleh banyak faktor," katanya.
Adapun faktor-faktor tersebut, ujarnya, adalah akses digital, infrastruktur, device, dan aspek non fisik lainnya.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) Heri Wiranto mengingatkan masyarakat terkait potensi penyebaran hoaks selama masa kampanye Pemilu 2024 yang akan segera berlangsung.
Dia menjelaskan, pada pengalaman Pemilu 2019 yang lalu, mayoritas konten hoaks pada pemilihan presiden bersifat provokatif. Adapun konten hoaks Pemilu 2019 terdiri dari 45 persen provokasi, 40 persen propaganda, dan sisanya berupa kritik.
"Diprediksi pada pemilu kali ini juga akan semakin meningkat yang dapat menimbulkan kebingungan masyarakat dan dapat memengaruhi jalannya pemilu serta pemilihan yang demokratis, karena bisa berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa," kata Heri di Jakarta pada Selasa (21/11).
Adapun masa kampanye Pemilu dijadwalkan pada 28 November 2023-10 Februari 2024.
Baca juga: Kemenag: Waspada ujaran kebencian di tahun politik
Baca juga: CWI waspadai penyebaran hoaks dan ujaran kebencian saat pemilu
Baca juga: Pakar: Ujaran kebencian-hoaks disebabkan kurangnya literasi digital
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023