Kepala DP3A Kota Semarang Ulfi Imran Basuki, di Semarang, Kamis, mengaku prihatin dengan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di wilayah Semarang Barat oleh oknum guru ngajinya.
Menurut dia, kasus tersebut adalah tindak pidana dan menyerahkan sepenuhnya penanganannya kepada aparat penegak hukum, sementara DP3A memiliki tugas untuk melakukan pendampingan terhadap korban.
Laporan yang diterima DP3A Kota Semarang setidaknya ada 17 korban kekerasan seksual, dan pihaknya telah menyampaikan permohonan pendampingan kepada para orang tua korban.
Baca juga: KPAI: Perlu regulasi yang jamin informasi layak untuk anak
Baca juga: RSIA Mukomuko gratiskan persalinan anak korban kekerasan seksual
"Kami minta izin kepada orang tua (korban) karena tidak semuanya mau. Kita minta ke orang tua, kalau diperkenankan kami mendampingi. Karena korban pasti trauma," katanya.
Ia menyebutkan DP3A memiliki unit pelaksana teknis dinas (UPTD) yang siap memberikan pendampingan psikologi maupun hukum bagi siapa saja masyarakat yang menjadi korban kekerasan.
"Ada dua psikolog dan satu 'lawyer' yang siap melayani warga. Korban kan jadi saksi di pengadilan. Mereka tentu butuh pendamping, bisa menggunakan 'lawyer' sendiri. Namun, kami juga siap melayani gratis," katanya.
Baca juga: Komnas: Kasus kekerasan berbasis gender masih terjadi dalam Pemilu
Baca juga: KPAI minta pemda wilayah terpencil prioritaskan pembentukan UPTD PPA
Berdasarkan data DP3A Kota Semarang, kasus kekerasan di Kota Atlas sepanjang 2023 mencapai 199 kasus, terdiri atas 21 korban merupakan anak-anak.
Karena itu, ia mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama mencegah kekerasan pada perempuan dan anak, apalagi pelaku kekerasan biasanya merupakan orang terdekat korban yang menimbulkan trauma yang berkepanjangan.
"Kami harap kekerasan tidak terjadi kepada siapapun. Kami butuh kerja sama. Masyarakat bisa berpartisipasi dalam pencegahan. Partisipasi keluarga juga sangat dibutuhkan," katanya.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2023