Kami percaya bahwa pada akhirnya, masa depan Mesir hanya dapat ditentukan oleh rakyat Mesir,"

London (ANTARA News) - Kekuatan dunia pada Kamis menyeru Mesir kembali ke demokrasi setelah tentara menggulingkan Presiden Mohamed Moursi, tapi banyak yang bersikap pragmatis dan tak mengutuk penggulingan pemimpin Islami itu.

Barat meniti tali tegang antara keprihatinan pada keadaan itu dengan kebutuhan mengakui kemarahan rakyat, yang menyebabkan unjuk rasa besar terhadap Moursi, sementara Suriah dan beberapa negara lain Arab bergembira atas kejatuhannya.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan banyak pemimpin menjauh dari menyebut peristiwa itu kudeta, sementara mendesak cepat kembali ke pemerintahan warga terpilih di Mesir, sekutu penting adidaya tersebut, yang menerima 1,3 miliar dolar (13 triliun rupiah) dalam bantuan tahunan ketentaraan Amerika Serikat.

"Kami percaya bahwa pada akhirnya, masa depan Mesir hanya dapat ditentukan oleh rakyat Mesir," kata Obama dalam pernyataan sesudah pembicaraan darurat dengan pembantu utamanya.

"Namun, kami sangat prihatin dengan keputusan angkatan bersenjata Mesir mencopot Presiden Moursi dan membekukan undang-undang dasar Mesir," katanya.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon mendesak Mesir kembali ke pemerintahan warga, dengan menyatakan itu harus sesegera mungkin.

Eropa terpecah tentang cara menanggapi kepergian presiden kedua Mesir dalam waktu dua tahun itu dan kemelut lain di sisi lain laut Tengah.

Inggris, bekas penjajah Mesir, menyatakan siap bekerja dengan penguasa sementara negara itu, meskipun tidak setuju dengan keterlibatan tentara di alur demokrasi.

"Kami tidak mendukung campur tangan tentara, tapi akan bekerja dengan orang berwenang di Mesir. Itulah kenyataan kebijakan luar negeri," kata Menteri Luar Negeri William Hague.

Hague menyatakan telah berbicara dengan rekan Mesir-nya pada Kamis, yang berjanji akan segera ada pemilihan presiden.

Tapi, Jerman mengambil garis lebih kuat dengan Menteri Luar Negeri Guido Westerwelle menggambarkan pemecatan Moursi sebagai kemunduran besar demokrasi Mesir dan menyerukan pembicaraan dan kompromi.

Eropa Bersatu memberi tanggapan lebih hangat.

Kepala kebijakan luar negeri Eropa Bersatu Catherine Ashton menyatakan sepenuhnya menyadari perpecahan mendalam di masyarakat Mesir, dengan menambahkan bahwa ia mendesak semua pihak cepat kembali ke alur demokrasi, tapi tidak mengecam tentara.

Rusia menyeru semua kekuatan politik Mesir menahan diri, tapi juga tidak mengecam. Rusia sejak lama memiliki hubungan bersahabat dengan Mesir dan dijaga setelah penggulingan Presiden Hosni Mubarak pada 2011.

Cina, yang selalu waspada terhadap campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain, menyatakan mendukung "pilihan rakyat Mesir" dan menyerukan pembicaraan, tapi tidak merinci.

Tentara Mesir menggulingkan Moursi pada Rabu setelah sepekan pertumpahan darah, yang menewaskan hampir 50 orang saat jutaan orang turun ke jalan, menuntut ia mundur setelah satu tahun pemerintahan penuh gejolak.

Hakim puncak Adly Mansour pada Kamis dilantik menjadi presiden sementara dan tentara Mesir memastikan menahan Moursi dan beberapa pembantu utamanya.

Tangapan kawasan atas penumbangan Moursi dan penangkapan beberapa pembantunya dari Ikhwanul Muslimin secara tajam terpecah.

Turki, tempat Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan dan partai berakar Islam-nya menundukkan unjukrasa besar pada bulan lalu, menyatakan peristiwa di Mesir itu tidak demokratis.

"Perubahan kekuasaan di Mesir bukan hasil dari kehendak rakyat. Yang perubahan itu tidak sesuai dengan demokrasi dan hukum," kata Wakil Perdana Menteri Bekir Bozdag.

Tapi, pemerintah Suriah, yang diperangi, menikmati kejatuhan Moursi, menyebutnya capaian besar.

Presiden Bashar Assad telah bertempur tiga tahun melawan pemberontak, yang Damsyik gambarkan dikuasai Islam garis keras.

Raja Saudi Abdullah juga memuji campur tangan tentara itu, seperti dilakukan Keamiran Arab Bersatu, yang gerakan Ikhwanul Muslimin-nya menjadi sasaran tindakan keras negara Teluk kaya minyak tersebut.

Israel bungkam dalam peristiwa di Mesir itu, yang menandatangani perjanjian perdamaian pada 1979.

Amnesty International dan Human Rights Watch menyeru penguasa baru Mesir menghormati hak asasi, demikian AFP.

(B002)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013