Kairo (ANTARA News) - "Marfudh, marfudh, marfudh (Ditolak, ditolak, ditolak)", demikian pidato berapi-api Presiden Mesir Mohamed Moursi pada Selasa tengah malam lalu (2/7), menanggapi tuntutan oposisi agar dia mundur.
Pada pidato yang disiarkan langsung jaringan televisi setempat itu, Moursi menolak tuntutan mundur, dan kembali menegaskan keabsahannya sebagai presiden adalah harga mati dan tidak seorang pun dapat menurunkan dia.
Moursi menyeru semua pihak, baik oposisi maupun pendukungnya, agar menghormati konstitusi hasil Revolusi 25 Januari 2011.
"Saya tegaskan bahwa saya akan berpegang teguh pada keabsahan konstitusional ini hingga akhir masa jabatan," ujarnya, "Jangan biarkan revolusi dicuri dari tangan kita."
Moursi yang didukung Ikhwanul Muslimin itu merujuk keabsahannya yang dilantik sebagai presiden setahun lalu setelah memenangkan pemilihan presiden demokratis pertama dalam sejarah Mesir modern.
Menurut konstitusi baru yang kontroversial, Moursi akan menjabat presiden selama empat tahun hingga 2016 setelah dilantik pada 30 Juni 2012.
Konstitusi baru itu disahkan lewat referendum tahun lalu, namun ditolak keras oposisi karena kandungannya dianggap terlalu "berbau Ikhwanul Muslimin".
Dalam pidatonya, Moursi tidak menyinggung ultimatum Angkatan Bersenjata, namun menyatakan menolak keras didikte pihak manapun, di dalam dan luar negeri. Meski begitu, Moursi sempat menulis di laman twitter resminya, mendesak militer untuk mencabut ultimatumnya.
Militer pada Senin (1/7) mengumumkan ultimatum 48 jam bagi kekuatan-kekuatan politik untuk menyelesaikan kekisruhan politik saat ini. Batas waktu ultimatum itu berakhir pada Rabu petang (3/7) pukul 17.00. Bila tidak terlaksana, militer akan mengumumkan "peta jalan bagi masa depan Mesir".
Peta jalan itu intinya langkah-langkah menuju pembentukan pemerintahan transisi yang melibatkan semua kekuatan politik, baik dari pihak penguasa maupun oposisi.
Banyak kalangan mencurigai ultimatum militer itu sebagai bentuk kudeta, tapi Angkatan Bersenjata telah membantah dan menegaskan peta jalan semata untuk mencari titik temu penyelesaian krisis multidimensi.
Menyiramkan bensin
Tapi pidato Moursi itu ibarat menyiramkan bensin ke tengah nyala api. Pasalnya, kondisi keamanan seantero Mesir saat ini sangat kritis di tengah tekanan oposisi yang marah menuntut perubahan.
Bentrokan hebat antara pendukung dan anti-Moursi di Bundaran Universitas Kairo Rabu dini hari itu dinilai sebagai awal dari konfrontasi yang bakal lebih meluas ke ibu kota negara.
Menurut Kementerian Kesehatan, sedikitnya 16 orang tewas dan lebih dari 200 orang terluka dalam bentrokan di Bundaran Universitas Kairo.
Ribuan pendukung Moursi memadati Bundaran Universitas Kairo Selasa lalu (2/7) dan hendak mendudukinya seperti juga Bundaran Tahrir, Kairo Timur.
Dalam sepekan terakhir, keamanan Kairo relatif kondusif kendati dilanda demonstrasi besar kedua kubu sejak Minggu (30/7). Tapi bentrokan kedua kubu telah terjadi di berbagai provinsi dan dilaporkan menewaskan belasan orang dalam sepekan terakhir.
Para pengulas berita menyimpulkan bahwa oposisi kini sangat berpeluang melengserkan Moursi seperti terjadi pada Presiden Hosni Mubarak dalam Revolusi 25 Januari. "Tidak bisa dipungkiri, oposisi telah merajai hampir semua tempat unjuk rasa utama di Kairo maupun di berbagai provinsi," kata kolomnis politik, Khaled Omar.
Khaled merujuk Bundaran Tahrir, ikon revolusi di pusat kota Kairo, yang dikuasai oposisi, begitu pula Istana Presiden. Sedangkan pendukung Moursi hanya berunjuk rasa di bundaran-bundaran sempit seperti di Masjid Rabiah Adawiyah dan Bundaran Universitas Kairo.
Selain itu, Moursi juga menghadapi tekanan kertas akibat mundurnya enam menteri, termasuk Menteri Luar Negeri Amr Omar. Dua juru bicara presiden juga mengundurkan diri, menyusul mundurnya sejumlah anggota Majelis Syura (MPR).
Jaksa Agung Talaat Abdullah Ibrahim terpaksa kehilangan jabatannya setelah pengadilan banding Selasa (2/7) memerintahkan Abdul Maguid Mahmoud kembali ke posisinya sebagai jaksa agung.
Moursi sebelumnya memecat Abdel Maguid lewat dekrit dengan harapan jaksa agung baru itu dapat menyeret mantan pejabat korup di era Mubarak ke pengadilan.
Partai An-Nur, sayap politik Salafi, kubu Islam yang selama ini mendukung Moursi, juga mendesak pengunduran dirinya.
Dalam setahun pemerintahannya, Moursi dinilai mengesampingkan kekuatan-kekuatan politik non-kubu Islam yang dahulu bersama-sama berjuang menumbangkan rezim Mubarak.
Hal itu terlihat dari penyusunan kabit pertama, hanya ada tiga orang dari Ikhwanul Muslimin, selebihnya adalah dari kaum profesional non-partai. Bahkan Perdana Menteri Hisham Qandil pun bukan orang partai. Ia adalah profesional perbankan yang tidak memiliki basis politik.
Dalam perombakan kabinet awal Mei lalu, Moursi menunjuk sembilan menteri baru, tiga di antaranya dari Partai Kebebasan dan Keadilan, sayap politik Ikhwanul Muslimin, yaitu keuangan, perminyakan dan kehakiman.
Di sisi lain, kehidupan sehari-hari Moursi pun tampak tidak tenang setelah Istana Presiden Al Ettihadiyah, kediaman resmi dan kantor kepresidenan, dikepung massa oposisi belakangan ini sehingga Moursi mesti diboyong ke Istana Al Qobba, istana yang biasanya menjadi tempat menginap tamu negara.
Presiden Soekarno dan Presiden Megawati Soekarnoputri pernah menginap di Istana Al Qobba itu saat kunjungan kenegaraan ke Mesir.
Oleh Munawar Saman Makyanie
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013