Jakarta (ANTARA) - “Timnas Indonesia yang kuat berasal dari kompetisi sepakbola yang sehat," kalimat ini muncul dari sejumlah pengamat sepak bola saat mengungkap harapan agar Timnas Indonesia Senior mampu bersaing tak hanya di level Asia Tenggara tapi juga level Asia.
Wajah Timnas Indonesia memang seharusnya berasal dari kompetisi yang berjalan, mulai dari Liga 1, Liga 2, hingga Liga 3 yang merupakan kompetisi amatir di Indonesia. Kompetisi ini rutin dilaksanakan setiap tahunnya dan diputar oleh PSSI.
PSSI pusat menggandeng operator liga yakni PT Liga Indonesia Baru (LIB) untuk memutar kompetisi tersebut. Sementara untuk kompetisi amatir diserahkan kepada Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI di masing-masing provinsi dan pemenang dari setiap zona akan maju ke tingkat nasional untuk memperebutkan tiket promosi ke Liga 3.
Hal serupa juga berlaku untuk kompetisi Piala Soeratin untuk Kelompok Umur U-13, U-15 dan U-17 yang dikelola oleh Asprov PSSI provinsi untuk menggelar kompetisi di zona masing-masing. Tim yang menjadi juara dari zona tersebut akan maju ke babak nasional.
Khusus untuk pembinaan sepakbola usia dini memang belum dilakukan secara optimal karena pembinaan dilakukan oleh Sekolah Sepak Bola (SSB) atau akademi sepakbola yang ada.
Anak-anak tersebut mendapatkan pola latihan dan program yang diberikan pelatih di SSB atau akademi sepakbola. Bahkan tak sedimit pelatih SSB yang tak memiliki lisensi pelatih yang menjadi program PSSI atau mereka melatih sesuai dengan naluri atau pengetahuan yang mereka dapatkan dari televisi.
Hal ini tentu tidak elok, jika dibandingkan dengan Jepang. Di Negeri Sakura itu, setiap sekolah SSB dilatih pelatih dengan Lisensi A AFC. Para pelatih lisensi A tersebut telah mengikuti pelatihan sepak bola secara berjenjang dan memberikan latihan kepada anak-anak sehingga program mereka sama dengan target asosiasi sepakbola.
Melihat penampilan Timnas Indonesia di Piala Dunia U-17 yang digelar di Indonesia tentu menimbulkan kebanggaan tersendiri. Meski Indonesia berpartisipasi sebagai satu dari 24 tim yang berlaga di putaran final Piala Dunia U-17 melalui jalur tuan rumah.
Hal ini harus menjadi pelajaran besar bagi PSSI dan bangsa Indonesia betapa pentingnya kompetisi usia dini yang harus dilakukan setiap tahunnya. Indonesia memang berhasil menahan imbang dua tim kuat yakni Ekuador dan Panama dan kalah dari Maroko di laga akhir Grup A Piala Dunia U-17.
Hasil ini patut diapresiasi tapi ini tentu menyadarkan betapa pentingnya pembinaan sepak bola usia dini yang dibangun melalui kompetisi resmi yang berkelanjutan dan kompetitif sehingga membangun kesadaran filosofi sepak bola yang dapat bersaing dengan negara-negara lain.
Pembinaan di negara lain sudah dilakukan sedemikian rupa dan ini patut dipraktikkan di Indonesia karena untuk mengumpulkan pemain muda tidak lagi perlu dilakukan pencarian bakat ke seluruh Indonesia.
Pemain muda itu seharusnya sudah didata dengan baik dan di bawah pengawasan klub resmi yang berada d bawah PSSI secara langsung. Selain itu kompetisi akan membuat pemain muda menjadi lebih kompetitif dalam bersaing dan menjunjung jiwa fair play serta memahami strategi sepak bola yang telah diajarkan sejak dini.
Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Surono mengatakan pembinaan sepak bola usia muda di Indonesia perlu dilakukan secara berjenjang, mulai dari usia dini hingga usia remaja.
Pembinaan di usia dini (U-10) berfokus pada pengembangan keterampilan dasar. Sementara di usia remaja (U-12 sampai U-17) anak-anak mulai dilatih untuk fokus pada pengembangan taktik dan fisik.
Pembinaan sepak bola usia muda di Indonesia juga perlu dilakukan secara komprehensif, tidak hanya fokus pada aspek teknis, tetapi juga aspek taktik, fisik, mental, dan psikologis.
“Selain itu, pembinaan juga perlu dilakukan secara berkelanjutan, sehingga bibit-bibit unggul yang muncul bisa terus berkembang dan meningkatkan kemampuannya,” paparnya.
Ia menambahkan, kompetisi sepak bola usia muda juga sangat penting untuk meningkatkan kualitas pemain. Kompetisi harus kompetitif dan memberikan tantangan yang sesuai dengan kemampuan pemain.
“Pada usia 10-12 tahun, kompetisi harus bersifat rekreasi dan menyenangkan. Kompetisi harus mendorong pemain untuk bermain sepak bola dengan semangat dan motivasi yang tinggi,” kata dia.
Kemudian pada usia 13-15 tahun, kompetisi harus lebih kompetitif. Kompetisi harus mendorong pemain untuk mengembangkan kemampuannya dan meningkatkan kualitas permainannya.
Pada usia 16-17 tahun, kompetisi harus sangat kompetitif. Kompetisi di jenjang ini harus memberikan tantangan yang nyata bagi pemain untuk meningkatkan kemampuannya dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kompetisi di level yang lebih tinggi.
Salah satunya, kompetisi Elite Pro Academy (EPA) U-16 dan U-18. Kompetisi ini bertujuan untuk memberikan pengalaman bermain yang kompetitif bagi para pemain usia dini.
“Kami juga bekerja sama dengan PSSI untuk mengadakan kompetisi usia dini, seperti EPA U-16 dan U-18. Kompetisi ini bertujuan untuk memberikan pengalaman bermain yang kompetitif bagi para pemain usia dini,” katanya.
Sementara itu pengamat sepak bola Sapto Haryo Rajasa juga menyoroti pentingnya sinkronisasi pembinaan sepak bola dari usia dini dan perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia di masa depan.
Dia pun bercerita tentang pengalamannya saat meliput turnamen sepak bola usia 14 tahun di Bali. Ia melihat bahwa pemain-pemain muda Thailand memiliki keunggulan teknis yang signifikan dibandingkan pemain-pemain Indonesia.
"Saat itu saya tanya kepada pemain Thailand, mereka main di mana. Ternyata mereka sudah tergabung di klub-klub profesional sejak usia 12-13 tahun. Sementara pemain Indonesia masih bermain di SSB atau sekolah," katanya.
Menurut dia perbedaan sistem pembinaan sepak bola di kedua negara. Thailand memiliki kompetisi sepak bola junior yang reguler dan berkelanjutan. Sementara di Indonesia, kompetisi sepak bola junior masih bersifat turnamen yang digelar secara berkala.
"Kompetisi yang reguler dan berkelanjutan akan memberikan kesempatan kepada pemain-pemain muda untuk mengasah kemampuannya secara konsisten. Sementara turnamen hanya memberikan kesempatan bermain yang terbatas," katanya.
Menurut dia PSSI dan pemerintah bekerja sama untuk mewujudkan sinkronisasi pembinaan sepak bola dari usia dini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengafiliasi SSB dengan klub-klub profesional sehingga pemain-pemain muda akan mendapatkan kesempatan bermain di kompetisi yang reguler dan berkelanjutan.
Ini kunci yang harus dilakukan agar terjadi sinkronisasi pembinaan sepak bola di usia dini menuju remaja hingga menjadi pesepak bola profesional sehingga menghasilkan kekuatan sepak bola Indonesia yang kuat di masa mendatang.
Targetnya tentu jelas bagaimana Timnas Indonesia mampu berlaga di putaran nasional Piala Dunia dengan talenta pemain yang dibina sejak hari ini hingga di masa mendatang mampu bersaing dengan negara lainnya.
Baca juga: Kemenpora fokus tingkatkan kualitas pelatih Indonesia
Baca juga: PSSI terus kembangkan keterampilan wasit di Indonesia
Baca juga: Hoaks! PSSI sebut Timnas Indonesia butuh 150 pemain naturalisasi
Baca juga: Pelaku sepak bola di Solo petik pelajaran dari Piala Dunia U-17
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2023