Seoul (ANTARA) - Korea Utara dan Korea Selatan berlomba meningkatkan kemampuan militer mereka di luar angkasa dengan berencana meluncurkan satelit mata-mata pertama mereka ke orbit pada akhir bulan ini.
Korut telah memberi tahu Jepang bahwa mereka akan meluncurkan sebuah satelit antara 22 November dan 1 Desember, setelah dua kali gagal meluncurkannya pada awal tahun.
Sedangkan Korsel bakal mengirimkan satelit pengintai militer pertama buatan sendiri ke luar angkasa pada 30 November dengan menggunakan roket Falcon 9 milik SpaceX yang diluncurkan dari Landasan AU Vandenberg, California, AS.
Korsel juga berencana menggunakan SpaceX untuk meluncurkan empat satelit lagi pada 2025. Mereka telah melakukan uji coba roket berbahan bakar padat dan gas untuk peluncuran satelit militer dan sipil di masa datang.
Satelit pengintai akan membuat Korut mampu memantau pasukan AS, Korea Selatan dan Jepang dari jauh, sedangkan satelit Korsel akan mengurangi ketergantungan negara itu pada sistem intelijen AS.
"Kedua Korea akan mendapatkan keuntungan dalam tingkat yang berbeda dari peluncuran satelit pengintai di luar angkasa secara mandiri," kata Ankit Panda dari lembaga nirlaba asal AS, Carnegie Endowment for International Peace.
"Pasti ada faktor kebanggaan juga bagi kedua pihak, tetapi keuntungan praktis menjadi pendorong utama (peluncuran itu)".
Pada September, Presiden Rusia Vladimir Putin mengajak pemimpin Korut Kim Jong Un berkeliling ke fasilitas peluncuran luar angkasa Rusia yang modern dan berjanji membantu Pyongyang membangun satelit.
Seorang peneliti Badan Pengembangan Luar Angkasa Nasional Korut pada Selasa mengatakan militerisasi luar angkasa oleh AS dan sekutunya membuat Korut harus memperkuat program satelitnya.
Ketika mengumumkan rencana peluncuran satelit mata-mata Korsel pada 2020, wakil penasehat keamanan nasional saat itu, Kim Hyun-chong, mengatakan militer Korsel membutuhkan "mata yang tak pernah berkedip" untuk memantau semenanjung Korea terus menerus.
Kedua Korea dapat menggunakan satelit itu untuk meningkatkan kemampuan peringatan dini, target militer dan peninjauan kerusakan di masa perang, serta komunikasi, kata Chun In-bum, jenderal purnawirawan Korsel.
Para pejabat Korsel yang mengangkat pecahan satelit Korut yang jatuh baru-baru ini telah menyatakan keraguan mereka atas kemampuan Korut.
Korsel dan AS menuduh peluncuran itu menjadi kedok dari teknologi rudal balistik Korut yang dilarang oleh resolusi Dewan Keamanan PBB.
"Bahkan jika Korea Utara sukses di peluncuran selanjutnya, mereka masih jauh dari kapabilitas pemantauan yang bisa digunakan militer," kata Chun.
Panda berargumen bahwa meski satelit pertama Korut berkemampuan buruk, tetapi satelit itu masih bisa digunakan oleh militer untuk peringatan strategis dan kewaspadaan situasi.
Adalah pandangan yang sempit jika hanya melihat peningkatan kemampuan pengintaian Korut sebagai ancaman, kata dia.
"Meski Pyongyang dapat menggunakan kemampuan ini untuk melancarkan serangan nuklir dan memantau kerusakan, kita mungkin juga melihat kemampuan itu membawa stabilitas (di kawasan) karena memungkinkan Korea Utara mempertahankan kesadaran situasional strategis yang lebih baik dalam sebuah krisis,” kata Panda.
Kemampuan Korsel lebih maju, tetapi masih perlu pengembangan agar memberi hasil yang diinginkan, kata Chun.
"Untuk Korea Selatan, (satelit) ini akan memberikan kemajuan berarti dalam pengintaian, tetapi masih diperlukan lebih banyak satelit," katanya.
Sumber: Reuters
Baca juga: AS kerahkan bomber untuk amankan Korsel dari ancaman Korut
Baca juga: JCS Korsel awasi Korut jelang peringatan satu tahun keberhasilan ICBM
Penerjemah: Arie Novarina
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2023