Hal ini menunjukkan bagaimana peran besar PKS pada perekonomian daerah.

Palangka Raya (ANTARA) - Anggota DPD RI Agustin Teras Narang menyatakan perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan kawasan di Kalimantan Tengah yang berkaitan perkebunan kelapa sawit memerlukan pendekatan multisektoral.


Pernyataan itu disampaikan Teras Narang saat pidato pembuka pada seminar yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Palangka Raya (UPR) di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa.

"Jadi, perselisihan antara masyarakat dan pelaku usaha perkebunan kelapa sawit (PKS) yang belakangan kian marak terjadi tidak lepas dari akar masalah tata ruang wilayah," ucapnya.

Gubernur Kalteng periode 2005—2015 itu mengungkapkan sejarah perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah hingga saat ini. Kalteng sekarang ini telah memiliki total luasan areal PKS mencapai 1,8 juta hektare dengan total produksi mencapai 8 juta ton.

Data itu, kata Teras Narang, terdiri atas perkebunan rakyat sekitar 380.000 hektare dengan produksi sekitar 934.000 ton, dan perkebunan swasta sekitar 1,5 juta hektare dengan produksi sekitar 1,5 juta ton.

Dari sisi ekonomi, menurut dia, produk olahan sawit CPO menjadi komoditas ekspor tertinggi kedua setelah produk pertambangan. Sebanyak 761.000 pekerja dan sekitar 130.000 petani juga mengandalkan PKS sebagai mata pencaharian.

"Hal ini menunjukkan bagaimana peran besar PKS pada perekonomian daerah," kata Teras Narang.

Baca juga: BRIN ingatkan petani untuk meremajakan kebun sawit
Baca juga: Gapki: Peremajaan sawit bantu tingkatkan ketahanan industri sawit

Dengan seluruh kontribusi positif PKS di Kalimantan Tengah, lanjut dia, tersimpan masalah yang membutuhkan atensi, yakni konflik tenurial yang merugikan banyak pihak.

"Adanya persoalan tumpang-tindih lahan dan tidak tuntasnya penataan dan pemetaan ruang secara aktual di Kalteng menjadi satu pemicu utama yang telah memantik banyak masalah antara masyarakat dan pelaku investasi," ujarnya.

Berbagai masalah ini, kata dia, terus terjadi dan sulit untuk mengatasinya tanpa ada iktikad penuh dari seluruh pemangku kepentingan, khususnya pemerintah pusat untuk menyelesaikan penataan kawasan di provinsi ini yang lebih dari 80 persen secara administratif masih berstatus kawasan hutan.

"Meski faktanya, kondisi di lapangan sudah tidak lagi sesuai dengan keadaannya," kata dia.

Untuk mengatasi berbagai konflik agraria, konflik tenurial, dan mendorong tujuan pembangunan berkelanjutan, dia mendukung pendekatan multisektoral yang tidak meninggalkan satu pihak. Namun, sebaliknya sama-sama berkolaborasi, bergotong royong dan bersinergi demi kesejahteraan semua.

"Perguruan tinggi dengan kalangan akademisinya perlu juga menawarkan solusi bagi pemerintah agar dapat optimal mengatur kepentingan pelaku usaha dan masyarakat secara berkeadilan," demikian Teras Narang.

Pewarta: Muhammad Arif Hidayat/Jaya W Manurung
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2023