Pimpinan partai politik beserta jajarannya sibuk menggalang soliditas internal partai dengan berbagai acara entah pengangkatan pengurus partai ataupun pendeklarasian capres dan cawapresnya.
Kegiatan massal awal yang dilakukan lima tahunan sekali itu amat menentukan hasil pencapaian masing-masing partai sesuai yang ditargetkan.
Perhitungan sudah dimulai sejak menentukan orang yang akan diusung, biaya kampanye untuk memenangkan wakilnya dalam pemilu, strategi pemenangan pemilu dan tema-tema kampanye untuk menarik pemilih.
Ibarat bermain catur para calon pemimpin mendatang tersebut juga saling melirik siapa calon lawan dan kawannya dan seberapa kuat mereka.
Tentunya "radar" setiap calon pemimpin sudah menangkap ini namun mereka tidak bisa berjalan sendirian mereka butuh mesin partai, jaringan sosial luas, penyusun strategi orasi mumpuni, penguasaan media dan penyebaran informasi, intelijen akurat, pengendalian massa.
Andaikan semua sudah dimiliki sang calon namun apakah itu sudah cukup bisa diandalkan untuk menang dan memerintah?
Penghitungan suara yakni si penghitungnya dan alat hitungnya sangat menentukan jaya atau jatuhnya setiap calon maka ini perlu dicermati dan ditelesih kebenarannya. Selisih sekecil apa pun itu berarti menang atau kalah.
Dalam negara demokratis tentu sudah disiapkan perangkat yang akan mengadili sengketa pemilu maka penyelenggaraan pemilu diharapkan menghasilkan pemilu yang jujur dan adil.
Rakyat Memimpin, Pemimpin Rakyat
Rakyat menjadi pemimpin yang sebenarnya dalam negara demokrasi karena memiliki hak memilih siapa si pemimpin yang dipandang pantas dan layak, sehingga tentu tidak bisa dipandang sebelah mata, penggembira atau bahkan pelengkap penderita yang habis manis sepah dibuang.
Rakyat kebanyakan adalah orang-orang yang hendak dilayani sang pemimpin. Mereka perlu dimanusiakan, dihargai dengan cara memerintah yang menyejahterakan dan mendamaikan. Pemenuhan kebutuhan rakyat adalah utama yang sama dengan pemenuhan kebutuhan sang pemimpinnya.
Rakyat dan pemimpin adalah satu. Keduanya tidak bisa dipisahkan, saling meninggalkan atau berjalan sendiri-sendiri karena yang dibangun adalah bangsa dan negara yang satu. Disitulah inti harmoni yang perlu dicari dan diupayakan sang pemimpin dan rakyatnya bersama-sama.
Keselarasan mutlak antara kepentingan rakyat dengan perwakilan rakyat dan pemerintah dengan kementerian yang membidangi kepentingan rakyat.
Perangkat birokrasi pemerintahan dan para wakil rakyat tidak bisa berpangkutangan selama masa pemerintahan dengan tidak mengerjakan titah rakyat karena ini adalah janji untuk dan selama memerintah.
Menindas rakyat sama dengan mencurangi rakyat sama saja dengan mengkhianati rakyat. Hak-hak rakyat tetap harus dijunjung tinggi setinggi hak-hak pemimpinnya demikian pula dengan kuajiban rakyat dan kuwajiban pemimpin. Jadi di situ lah kesetaraan pemimpin dan rakyat tidak ada yang saling menginjak dan menginjak-injak.
Pemimpin, Rakyat, Kebenaran
Manusia memang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa maka sudah selayaknya manusia, pemimpin dan rakyat, mengabdikan seluruh akal budi, hati, jiwa, kehendak dan kekuatannya bagi kemuliaan Sang Pencipta yang lebih besar.
Kalau kebenaran ini menjadi panglima sang pemimpin dan rakyatnya maka secara bersama-sama bisa mengatasi segala macam gangguan selama memerintah dan diperintah.
Gangguan-gangguan pemimpin seperti berkuasa dengan tangan besi dan mengumbar hawa nafsu ego manusianya dalam istilah bahasa Jawa "molimo" madon (selingkuh), maling (mencuri), main (berjudi), madat (menghisap narkoba), mabuk (minum minuman keras) dapat dijauhi.
Rakyat juga tidak perlu bertindak barbar seolah tidak punya pemimpin panutan yang dihormati dan disegani kata dan perilakunya.
Dengan demikian, pemimpin dan rakyat saling mencintai dan menghargai. Kedua belah pihak bisa saling mencintai dan menghargai. Siapakah dia? (*)
Oleh B Kunto Wibisono
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013