Shan State, Myanmar (ANTARA) - Ratusan warga asing yang bekerja di Myanmar, termasuk staf sejumlah badan PBB, telah diungsikan ke tempat aman karena meningkatnya pemberontakan terhadap junta militer, kata para penentang junta, Senin.

Aliansi etnis minoritas yang bersekutu dengan pemerintah sipil pro demokrasi meluncurkan serangan akhir bulan lalu dalam aksi terbesar melawan junta sejak militer merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih lewat kudeta pada 2021.

Ratusan warga asing, kebanyakan dari negara-negara tetangga, terjebak dalam pertempuran, terutama di Negara Bagian Shan, Myanmar timur laut, yang berbatasan dengan China dan di Negara Bagian Kayah yang berbatasan dengan Thailand.

China pada Senin mengatakan mereka membantu warga asing keluar dari Myanmar dan meminta warganya sendiri untuk meninggalkan daerah konflik.

Pemerintah sipil Myanmar yang diasingkan mengatakan bahwa milisi anti junta di Kayah menghentikan sementara serangan mereka agar 228 pekerja kemanusiaan, termasuk staf PBB, bisa meninggalkan Loikaw, ibu kota negara bagian itu.

"Meskipun staf PBB dan LSM serta keluarga mereka bisa keluar dengan aman, masih banyak yang terjebak di Loikaw," kata Pemerintah Nasional Bersatu, dalam pernyataan di platform media sosial X, yang dulu bernama Twitter.

Disebutkan, pekerja kemanusiaan telah dibawa ke Kota Taunggyi di Shan, yang berada di bawah kendali junta.

Juru bicara junta belum memberikan komentar, sedangkan badan-badan PBB di Myanmar tidak bisa dihubungi.

Lebih dari 250 warga Thailand, enam warga Filipina dan seorang warga Singapura tiba di Thailand pada akhir pekan setelah dievakuasi dari Myanmar utara melalui China, kata Kementerian Luar Negeri Thailand.

Juru bicara Kemlu China, Mao Ning, dalam jumpa pers rutin mengatakan bahwa negaranya membantu negara-negara lain untuk mengeluarkan warga mereka.

"Baru-baru ini, beberapa negara telah meminta bantuan China. Dari sudut pandang kemanusiaan, kami menyediakan bantuan bagi warga mereka di Myanmar utara untuk dievakuasi melalui China," kata Mao.

"Hentikan Perang"

China yang memiliki hubungan ekonomi secara luas dengan Myanmar juga menyerukan "pihak-pihak terkait untuk mengedepankan kepentingan masyarakat, melakukan gencatan senjata dan mengakhiri perang secepatnya, menyelesaikan perselisihan melalui dialog dan konsultasi dan menghindari eskalasi," kata Mao.

Myanmar dilanda kekacauan sejak militer menggulingkan pemerintahan yang dipimpin oleh peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyu pada kudeta 2021.

Kudeta itu mengakhiri satu dekade reformasi demokrasi tentatif dan menuai protes di mana-mana.

Di seluruh Myanmar, aktivis pro demokrasi mengangkat senjata bersama pemberontak etnis minoritas yang telah berjuang demi kebebasan mereka selama puluhan tahun.

Kelompok perlawanan Pasukan Pembebasan National Ta'ang (TNLA) melaporkan bentrokan hebat di Shan pada akhir pekan.

Mereka mengatakan beberapa pejuangnya menjadi korban ketika pasukan junta menggunakan "bom gas mengandung senjata kimia yang dilarang secara internasional".

Disebutkan pula bahwa para pejuang itu telah mendapatkan perawatan medis, tetapi TNLA tidak menyediakan bukti untuk mendukung tuduhannya itu.

Juru bicara junta membenarkan adanya pertempuran dengan TNLA, tetapi menyangkal tuduhan menggunakan gas beracun.

"Mereka menyerang dan militer membalas. TNLA mengalami kekalahan besar dan seperti biasa, mereka mulai menuduh bahwa junta menggunakan gas beracun dan lain-lain," kata juru bicara Zaw Min Tun.

Junta mengakui mereka menderita "serangan berat" dari kelompok pemberontak. Seluruh staf pemerintah dan mereka yang memiliki pengalaman militer diminta bersiap jika dibutuhkan dalam kondisi darurat.

Sumber: Reuters

Baca juga: Filipina akui konflik Myanmar sulit diatasi ASEAN
Baca juga: Jubir sebut warga Myanmar utara cari perlindungan ke China

Penerjemah: Arie Novarina
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2023