PLBN Wini juga menjadi episentrum ekonomi masyarakat di sekitar perbatasan PLBN Wini.
Jakarta (ANTARA) - Mengunjungi Kabupaten Timur Tengah Utara (TTU) rasanya belum lengkap bila tak menengok Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Wini di Desa Humusu C, Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT). PLBN Wini ditempuh sekitar 238 kilometer dari Kota Kupang atau sekitar 5 hingga 6 jam jika ditempuh jalur darat.
Pos perbatasan ini diresmikan Presiden RI Joko Widodo pada 19 Januari 2018. Pos yang menjadi perlintasan warga Indonesia dan Timor Leste ini memang menjadi salah satu bangunan termegah di NTT.
Total ada tiga perbatasan Indonesia dengan Timor Leste di NTT, yakni PLBN Motaain di Kabupaten Belu, PLBN Motamasin di Kabupaten Malaka, dan PLBN Wini di Kabupaten TTU. Tiga pos perbatasan ini bertipe A.
Saat memasuki pintu gerbang PLN Wini, pengunjung disambut dengan tulisan "Wini Indonesia" berwarna merah dan putih. Adapun tulisan ini menjadi ikon PLBN Wini yang juga sering jadi spot berswafoto para pengunjung.
Kepala Administrator PLBN Wini Don Gaspar mengatakan bahwa pos perlintasan ini dapat mengintegrasikan pelayanan lintas batas yang terpusat di satu bangunan, seperti imigrasi, bea cukai, karantina, polisi, hingga TNI. Hal ini juga untuk memantau arus keluar-masuk manusia berkisar 100 orang per hari dan bisa lebih banyak lagi pada periode liburan yang mencapai 200-300 per hari, sedangkan kendaraan rata-rata 25 per hari.
Adapun tujuan melintas ini biasanya disebabkan oleh pekerjaan hingga urusan adat istiadat. Masyarakat di wilayah perbatasan itu adalah masyarakat adat yang disatukan dengan tradisi yang kuat serta mempunyai ikatan emosional yang kuat sebagai satu kesatuan masyarakat adat. Dengan demikian, aktivitas perlintasan masuk keluar PLBN Wini dan Timor Leste sangat tinggi.
Kehadiran PLBN Wini juga menegaskan adanya perbatasan wilayah antara Indonesia dengan negara tetangga. Ia menilai kemegahan PLBN Wini dapat membuat negara lain tahu bahwa Pemerintah benar-benar mengurus Indonesia sampai ke perbatasan.
"Kalau rumah itu serambi depan, kalau negara kita sudah membangun PLBN sedemikian megah, artinya negara tetangga melihat juga bahwa kalau di perbatasan saja sudah terurus apalagi di bagian dalam. Cerminan negara ada di sini karena kita tidak membelakangi negara lain tapi saling berhadapan," papar Don.
Tak hanya itu, PLBN Wini juga menjadi episentrum ekonomi masyarakat di sekitar perbatasan PLBN Wini. Pasalnya, PLBN Wini membutuhkan banyak tenaga kerja untuk bidang keamanan, kebersihan, dan teknisi.
Pemanfaatan warga lokal dapat menggerakkan perputaran ekonomi yang berimplikasi pada meningkatnya pertumbuhan kesejahteraan.
Luas PLBN Wini sekitar 5 hektare, terbagi dalam dua zona, yaitu zona inti dan zona penunjang. Zona inti adalah tempat perlintasan barang, orang, dan kendaraan. Pada zona ini terdapat jalur-jalur perlintasan keberangkatan dan kedatangan.
Kemudian ada gedung pemeriksaan terpadu, ada kennel (kandang), carwash tempat pencucian disinfektan untuk kendaraan dari Timor Leste ke Indonesia. Ada pula jembatan timbang, gedung sita berat bagi kendaraan besar, gedung pintas, hingga pos check point keberangkatan dan kedatangan.
Sementara itu, zona penunjang terdapat gedung Wisma Indonesia dan serbaguna yang disewakan bagi masyarakat umum untuk mendatangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Biaya menginap di Wisma Indonesia sekitar Rp370 ribu per malam dan sewa gedung serbaguna Rp1,4 juta per hari.
Lalu, ada tempat tinggal para pegawai dari luar daerah yang bekerja di PLBN Wini, mulai dari pegawai BNPP, Bea Cukai, Imigrasi, dan Karantina. Setelah itu, pasar PLBN yang beroperasi setiap Senin, foodcourt, dan plaza.
Pengunjung tidak dipungut biaya apa pun saat mengunjungi PLBN Wini. Namun, bila ingin melintas ke Timor Leste harus memiliki paspor. PLBN ini beroperasi setiap hari dari pukul 08.00-11.00 dan dilanjutkan pukul 13.00-16.00.
Berdayakan warga lokal
Don menuturkan saat pembangunan PLBN Wini, Pemerintah membayar tanah masyarakat. Di situ terjadi kesepakatan antara Pemerintah, khususnya Kementerian PUPR, dengan Pemerintah Kabupaten TTU dan para pemilik tanah.
Para pemilik tanah merelakan lahannya untuk dibeli negara demi membangun PLBN Wini. Kendati demikian, mereka meminta agar anak-anaknya mendapatkan pekerjaan di sana.
Awalnya, Kementerian PUPR melakukan perekrutan di Januari 2016. Total ada 10 orang yang saat perekrutan masih sekolah dan tak bisa dipekerjakan. Kemudian, setelah BNPP masuk ke Wini pada Agustus 2017, 10 orang yang telah selesai sekolah direkrut bekerja di PLBN Wini.
PLBN Wini membuka tiga kategori lapangan pekerjaan, yakni teknisi, keamanan, dan petugas kebersihan. Saat ini, ada 98 warga lokal yang bekerja di PLBN Wini.
Pada 2019, Kementerian PUPR kembali melakukan perekrutan warga lokal untuk zona penunjang. Mereka digaji mengikuti Upah Minimum Provinsi (UMP) NTT Rp1.975.000 dan ditambahkan BPJS Kesehatan-Ketenagakerjaan yang bila dijumlahkan mencapai Rp2,1-Rp2,3 juta per bulan.
Adanya warga lokal yang bekerja di PLBN Wini meningkatkan kesejahteraan mereka karena perputaran ekonomi dipengaruhi oleh transaksi jual beli yang dilakukan para pegawai lokal dan pendatang di perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023