Jakarta (ANTARA) - Film terbaru hasil saduran serial novel “The Hunger Games” karya Suzanne Collins, “The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes”, rilis di Indonesia bulan ini. Film ini merupakan prekuel dari empat film “The Hunger Games” sebelumnya.

Film bertema distopia garapan sutradara Francis Lawrence ini menceritakan masa muda Coriolanus “Coryo” Snow (Tom Blyth) saat dan setelah ia menimba ilmu di Academy, perguruan paling prestisius di Capitol, jantung negara Panem.

Awal film berdurasi 157 menit tersebut menggambarkan Coryo sebagai harapan terakhir keluarga Snow setelah ayahnya, Jenderal Crassus Snow, tewas dalam perang saudara yang hampir menghancurkan Panem.

Ia tinggal bersama sepupunya, Tigris (Hunter Schafer), dan neneknya yang mereka panggil Grandma’am (Fionnula Flanagan). Mereka digambarkan hidup melarat dan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya tempat tinggalnya.

Baca juga: Novel prekuel "The Hunger Games" akan dijadikan film

Baca juga: Desa lokasi syuting District 12 "Hunger Games" jadi tempat bersejarah


Digadang-gadang menjadi siswa terbaik Academy, Snow muda rupanya harus menghadapi lagi satu tantangan: Menjadi mentor bagi tribut yang dikirimkan dari setiap distrik di Panem. Snow lantas ditunjuk menjadi mentor bagi Lucy Gray Baird (Rachel Zegler) dari Distrik 12.

Menyadari dirinya harapan terakhir yang dapat mengembalikan kejayaan keluarga Snow, Coriolanus amat mantap bahwa dia harus membuat Baird memenangi Hunger Games ke-10, bagaimanapun caranya. Dalam petualangannya, Snow didampingi teman baik satu akademinya, yaitu Sejanus Plinth (Josh Andrés Rivera) yang lantang menolak Hunger Games.

Narasi film kemudian mengalir menggambarkan seberapa jauh upaya yang Snow muda rela lakukan untuk membuat Baird menang dan, setelahnya, sejauh apa tindakan yang ia dapat lakukan demi menonjolkan dirinya setelah diperintahkan mengabdi kepada negara sebagai "peacekeeper" di Distrik 12 selama 20 tahun.

Film ini memperkenalkan kita dengan tokoh-tokoh yang membentuk Coriolanus, seperti sutradara Hunger Games yang disebut “Head Gamemaker” Dr. Volumnia Gaul (Viola Davis) yang tidak berperikemanusiaan dan penggagas intelektual Hunger Games Casca Highbottom (Peter Dinklage) yang amat membenci Coriolanus.

Meski sudah diketahui dari film-film sebelumnya kalau Hunger Games diciptakan sebagai hukuman kepada distrik-distrik yang memberontak terhadap Capitol, film ini juga membuka tabir tentang bagaimana gelanggang jagal itu rupanya muncul hanya dari hal yang sangat sederhana.

Lucy Gray Baird di gelanggang Hunger Games, sebagaimana digambarkan di film “The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes”. ANTARA/HO.


“The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes” menjadi pelengkap dari empat film “The Hunger Games” sebelumnya, yaitu “The Hunger Games” (2012), “The Hunger Games: Catching Fire” (2013), “The Hunger Games: Mockingjay – Part 1” (2014), dan “The Hunger Games: Mockingjay – Part 2” (2015).

Film ini berhasil menghadirkan visual yang amat menarik dan beragam, mulai dari brutalnya arena Hunger Games tempat para tribut bertarung sampai mati hingga suburnya daerah hijau di Distrik 12 di mana Coryo, Baird, dan teman-temannya menghabiskan waktu senggang.

Tergambarkan pula primitifnya sistem, senjata, dan gelanggang Hunger Games ke-10 yang mengingatkan kita dengan Koloseum di Roma, tempat di mana para gladiator saling bunuh di hadapan penonton yang bersorak.

Karena itu, aksi jagal dalam gelanggang terkesan lebih kejam dan mencekam, apalagi saat kita tahu bahwa para tribut bukanlah orang yang ingin bertempur, namun mereka harus pasrah dengan nasib yang ditentukan dengan undian saat reaping day.

Baca juga: Prekuel "Hunger Games" direncanankan tayang pada 2023

Baca juga: "The Hunger Games" kuasai box office


Dengan menilik kembali film-film sebelumnya, “The Hunger Games: The Ballad of Songbirds and Snakes” menunjukkan Hunger Games sudah berkembang dengan sangat pesat hingga saat Katniss Everdeen dan Peeta Mellark menghadapi Hunger Games ke-74 dan 75.

Terlihat pula dalam film ini peran Coriolanus terhadap “penyempurnaan” sistem Hunger Games bahkan sebelum ia menjadi pemimpin Panem.

Film ini berhasil menggambarkan bisa jadi sebengis apa seorang manusia apabila kekuasaan ada di tangannya, bahkan saat “mencicipinya” barang sekali. Salah satunya terlihat kala Coryo mengaku kepada Tigris bahwa ia merasakan sesuatu yang menggelora dan di hatinya setelah membunuh seorang tribut yang hampir menyerangnya di gelanggang.

Selain itu, film ini juga sedikit banyak memberi jawaban kenapa Coriolanus Snow bisa jadi sangat brutal di film-film “The Hunger Games” sebelumnya. Apalagi, Snow muda sudah memperlihatkan bibit-bibit kebengisannya di film ini.

Namun, film ini terasa agak tanggung karena aspek-aspek di sekeliling Coryo yang membuatnya menjadi Presiden Snow di kemudian hari, serta petualangan asmaranya dengan Baird, kurang digali lebih dalam.

Sebagai prekuel, rasanya tidak akan terlalu canggung apabila perkenalan terhadap serial film “The Hunger Games” dimulai dari film ini, utamanya karena tokoh utama di film ini berbeda dari keempat film “The Hunger Games” sebelumnya.

Meski begitu, menonton film-film sebelumnya akan amat membantu untuk lebih memahami dinamika Hunger Games yang ada di film ini, utamanya karena film ini lebih berfokus pada perkembangan pribadi Snow muda daripada gelanggang penjagalan itu sendiri.

Bagaimanapun, film ini tetap menjadi pilihan tontonan yang menarik bagi pencinta “The Hunger Games” maupun pencinta film yang hendak mencari tontonan yang seru menjelang akhir tahun.

Film garapan Lionsgate ini sudah hadir di bioskop-bioskop Indonesia sejak 15 November kemarin, lebih dulu dari Amerika Serikat yang baru dapat menikmati film ini pada 17 November.

Baca juga: Lagu Olivia Rodrigo "Can't Catch Me Now" jadi OST film "Hunger Games"

Baca juga: Bakal kembali ke "The Hunger Games"? Ini kata Jennifer Lawrence

Baca juga: Lionsgate tetapkan aktor utama prekuel "Hunger Games"

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023